-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Papatah Sunda: "Ulah Angkuh! Bisi Era Mun Aya Pangabutuh"

Minggu, 08 September 2024 | 09.53 WIB | 0 Views Last Updated 2024-09-08T02:53:37Z

Di tatar Sunda, ada pepatah yang sering kita dengar: “Ulah angkuh! Bisi era mun aya pangabutuh.” Pepatah ini secara sederhana mengajarkan agar kita tidak menjadi orang yang sombong, karena pada suatu hari nanti, kita mungkin akan membutuhkan bantuan orang lain. Filosofi ini mengandung nilai-nilai kehidupan yang sangat mendalam, terutama dalam konteks kehidupan bermasyarakat.

Makna "Ulah Angkuh"

Kata “angkuh” dalam bahasa Sunda berarti sombong, merasa lebih baik dari orang lain, atau terlalu percaya diri hingga mengabaikan orang-orang di sekitar. Sifat ini sering muncul dalam kehidupan sehari-hari, baik disadari atau tidak. Misalnya, ketika seseorang merasa sudah sukses dan tidak lagi menghargai orang-orang yang pernah membantu dalam perjalanannya. Di balik kesombongan ini, ada risiko besar, yaitu isolasi sosial dan kehilangan dukungan dari orang lain.

Dalam budaya Sunda yang terkenal dengan keramahan dan rasa gotong-royongnya, kesombongan adalah sikap yang sangat dijauhi. Di tatar Sunda, hubungan sosial adalah hal yang sangat penting. Banyak orang percaya bahwa manusia tidak bisa hidup sendirian. Kita semua saling bergantung satu sama lain, dan sikap sombong bisa merusak hubungan baik yang sudah terjalin.

Bisi Era Mun Aya Pangabutuh

Bagian kedua dari pepatah ini, "bisi era mun aya pangabutuh," memiliki pesan yang lebih dalam. "Bisi era" berarti merasa malu atau tidak nyaman, sedangkan "pangabutuh" berarti kebutuhan. Pepatah ini mengingatkan kita bahwa hidup itu dinamis, penuh dengan kejutan, dan tidak selamanya kita berada di atas. Pada satu titik, kita mungkin membutuhkan bantuan orang lain, entah dalam bentuk dukungan moral, finansial, atau fisik.

Dalam masyarakat Sunda, dikenal istilah “silih asah, silih asih, silih asuh,” yang berarti saling mengajarkan, saling menyayangi, dan saling mengasuh. Konsep ini memperkuat pentingnya menjaga hubungan baik dengan sesama, karena suatu saat kita mungkin akan membutuhkan pertolongan. Jika kita angkuh, bagaimana mungkin orang akan dengan sukarela membantu ketika kita berada dalam kesulitan?

Contohnya, ketika seseorang yang dulunya bersikap sombong dan merendahkan orang lain tiba-tiba mengalami musibah, seperti kehilangan pekerjaan atau jatuh sakit. Saat itu, ia mungkin akan merasa malu atau enggan meminta bantuan kepada orang-orang yang pernah dipandang rendah. Di sinilah pepatah “bisi era mun aya pangabutuh” menjadi relevan—rasa malu dan penyesalan bisa muncul ketika seseorang menyadari bahwa sikap angkuh telah memutus banyak jalinan hubungan sosial.

Refleksi dalam Kehidupan Sehari-hari

Pepatah ini sangat cocok diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam hubungan keluarga, persahabatan, dan lingkungan kerja. Kita sering lupa bahwa setiap individu memiliki kontribusi dalam hidup kita, sekecil apapun itu. Seorang tukang parkir yang mungkin tampak sepele bagi sebagian orang, sebenarnya memberikan kemudahan dalam kehidupan sehari-hari kita. Atau, seorang teman yang selalu mendukung di masa-masa sulit, meskipun kita sering mengabaikan keberadaannya.

Sikap rendah hati adalah kunci untuk menjaga keseimbangan hubungan ini. Kerendahan hati bukan berarti merendahkan diri sendiri, melainkan menghargai keberadaan dan peran orang lain dalam hidup kita. Orang Sunda percaya bahwa dengan menjaga sikap rendah hati, kita akan selalu dikelilingi oleh orang-orang yang siap membantu di saat-saat sulit.

Contoh nyata lainnya bisa kita lihat dalam kehidupan pedesaan di Sunda. Ketika ada acara hajatan, misalnya pernikahan atau sunatan, masyarakat sekitar biasanya bergotong-royong membantu persiapan tanpa pamrih. Ini adalah salah satu bentuk nyata dari nilai "silih asah, silih asih, silih asuh." Namun, jika seseorang dalam komunitas tersebut dikenal sombong dan tidak pernah peduli dengan tetangga, kemungkinan besar ia akan kesulitan mendapat bantuan saat berada dalam kondisi yang membutuhkan.

Sikap Sombong dalam Era Modern

Di era modern, di mana individualisme sering kali lebih dihargai daripada kolektivitas, pepatah ini tetap relevan. Banyak orang yang terjebak dalam ambisi pribadi, kesuksesan material, dan status sosial hingga lupa bahwa kesuksesan itu tidak hanya milik individu, tetapi juga hasil dari dukungan lingkungan sekitar. Mungkin kita merasa tidak butuh orang lain saat kita berada di puncak kesuksesan, tetapi hidup bisa berubah dengan cepat.

Misalnya, ketika seseorang mencapai kesuksesan dalam karir atau bisnis, seringkali muncul perasaan bahwa ia tidak membutuhkan bantuan orang lain. Namun, ketika bisnis tersebut jatuh atau karirnya terhenti, ia akan mulai merasakan pentingnya dukungan sosial dari keluarga, teman, atau kolega. Jika selama ini ia bersikap sombong, mungkin akan terasa sulit untuk meminta bantuan atau menerima dukungan dari orang-orang di sekitarnya.

Kesimpulan

Pepatah “Ulah angkuh! Bisi era mun aya pangabutuh” adalah pengingat yang kuat tentang pentingnya sikap rendah hati dalam kehidupan. Kesombongan hanya akan membawa isolasi dan penyesalan, sementara kerendahan hati dan kepedulian terhadap sesama akan memperkuat jalinan sosial yang dapat kita andalkan di masa-masa sulit.

Sebagai orang Sunda, kita diajarkan untuk hidup dengan prinsip gotong-royong, saling menghormati, dan menjaga hubungan baik. Sebuah pengingat bahwa kehidupan ini tidak selamanya di atas, dan suatu hari kita akan membutuhkan bantuan dari orang lain. Ulah angkuh, ulah poho ka batur, karunya bisi era engké mun urang butuh.
×
Berita Terbaru Update