Setiap pagi, puluhan pasang kaki mungil menapak perlahan di jalan tanah merah yang becek dan berlubang. Mereka bukan tengah mengikuti kampanye jalan kaki ramah lingkungan. Mereka berjalan karena tak punya pilihan lain. Jalan utama yang menghubungkan Kecamatan Sindangbarang dan Cikadu, Kabupaten Cianjur, telah rusak parah selama puluhan tahun dan hingga kini belum pernah tersentuh perbaikan.
Musim hujan menjadi momok yang menyiksa. Lumpur menenggelamkan permukaan jalan, membuat sepatu menjadi beban ketimbang pelindung. Tak jarang, para siswa memutuskan untuk nyeker, berjalan tanpa alas kaki demi bisa tiba di sekolah dengan sepatu yang masih layak pakai. Di kelas, tak sedikit di antara mereka yang harus belajar dengan seragam kotor, karena tergelincir di jalanan licin saat berangkat.
Dalam sebuah video berdurasi 2 menit 1 detik yang sempat viral di media sosial, seorang siswi bernama Esti Pratiwi menyapa “Bapak Aing”, sapaan akrab yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Dengan logat khas Sunda dan wajah penuh harap, Esti mengangkat sepatu yang dijinjingnya.
“Aduh kumaha ieu Bapak Aing, boro-boro make motor Bapak Aing, sepatu ge dijingjing…” ucapnya lirih namun jelas terdengar getir.
Esti menjelaskan, video tersebut sengaja dibuat agar suara para siswa sampai ke telinga pemimpin mereka. Bukan hanya keluhan, tapi juga sebuah seruan: kami ingin sekolah tanpa harus bertaruh nyawa.
“Kami sudah terbiasa jalan kaki, bahkan sebelum ada arahan dari Pak Gubernur soal itu. Tapi jalanan begini, bukan sehat yang didapat, malah penuh risiko. Kalau hujan, kami terpaksa nyeker, baru pakai sepatu lagi di sekolah,” ujarnya, Kamis (8/5/2025).
Meski terkesan pasrah, Esti dan teman-temannya menunjukkan keteguhan hati. Mereka tak meminta kendaraan, bukan juga fasilitas mewah. Mereka hanya ingin jalan yang layak untuk bisa menuntut ilmu dengan lebih aman dan nyaman.
Kondisi ini dibenarkan oleh Ahmad Jamaludin, Kepala Sekolah SMP IT Pancuh Tilu, tempat Esti dan teman-temannya belajar. Ia mengatakan, kerusakan jalan sejauh 20 kilometer itu bukan perkara baru.
“Sejak saya kecil, jalan itu sudah rusak. Sampai sekarang belum pernah diperbaiki. Ini jalan provinsi, dan merupakan penghubung utama dua kecamatan. Jika tidak ada perhatian, maka bukan hanya akses pendidikan yang terhambat, tapi juga ekonomi warga,” jelasnya.
Jalan berlumpur yang menjadi mimpi buruk para siswa ini seolah menjadi simbol dari betapa mahalnya harga sebuah pendidikan di pelosok negeri. Di balik tawa dan canda khas anak-anak, tersembunyi harapan yang besar: agar negara benar-benar hadir di jalan-jalan kecil seperti ini.
Sementara langkah kaki kecil itu terus melaju, menapaki tanah becek dengan semangat tak pernah kering, masyarakat dan siswa Sindangbarang hanya bisa berharap… semoga suara mereka tak lagi tenggelam dalam lumpur.