-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Sanad Keilmuan dalam Islam: Menjaga Kemurnian Ilmu Hingga Hari Kiamat

Kamis, 01 Mei 2025 | 09.39 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-01T02:40:39Z
Sanad atau jaringan mata rantai keilmuan merupakan bagian fundamental dalam tradisi keilmuan Islam. Dalam pandangan Islam, ilmu bukan hanya soal isi dan kebenaran, tetapi juga menyangkut sumber dan jalur periwayatannya. Hal ini penting, sebab pada hari kiamat kelak, setiap manusia akan dimintai pertanggungjawaban bukan hanya atas apa yang diamalkannya, tetapi juga dari mana ia memperoleh dasar amal tersebut.

Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an,

“Dan Aku akan menanyaimu orang-orang yang diutus kepada mereka dan sungguh Aku akan meminta laporan para rasul.”
(QS Al-A'raaf: 6)

Ayat ini menunjukkan betapa pentingnya jalur penyampaian ilmu dalam Islam. Dalam hal ini, sanad menjadi pengikat yang memastikan bahwa ilmu yang diterima oleh umat adalah ilmu yang murni dan dapat dipertanggungjawabkan, karena tersambung langsung hingga kepada Rasulullah SAW.

M. Ishom el-Saha, Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Serang, menjelaskan bahwa para ulama klasik sangat menjaga sanad ini dalam proses pembelajaran. Ia mengisahkan seorang ulama besar bernama Abu Abdurrahman al-Marwazi atau Ali bin al-Hasan Saqiq yang pernah meriwayatkan perkataan gurunya, Abdullah bin al-Mubarak:

"Jika kamu kelak menghadapi persidangan di hadapan Allah di Padang Mahsyar, maka berpeganglah kepada al-atsar."

Ungkapan ini kemudian memantik pertanyaan dari Ali bin al-Hasan. Ia lantas meminta penjelasan kepada Abu Hamzah Muhammad bin Maimun al-Saukri tentang apa yang dimaksud dengan al-atsar.

Dengan penuh kehati-hatian, Abu Hamzah menjawab:

“(al-atsar adalah) di hari kiamat kelak kamu akan ditanya dari siapa kamu mengamalkan. Misalnya kamu jawab: saya mengamalkan dari Abu Hamzah. Maka saat itu juga aku dihadirkan bersamamu di hadapan Allah.”


Ia melanjutkan, bahwa dirinya juga akan ditanya dari siapa ia mengambil ilmu, dan ia akan menyebut nama al-A'mas. Al-A'mas pun akan dipanggil dan menjawab bahwa ia belajar dari Ibrahim, yang pada gilirannya akan menyebut nama Alqamah, yang menyebut Ibnu Mas'ud, seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Ibnu Mas’ud sendiri menyatakan bahwa ilmunya bersumber dari Rasulullah, dan Rasulullah dari Jibril yang diperintahkan langsung oleh Allah SWT.

M. Ishom el-Saha menegaskan bahwa jalur keilmuan semacam inilah yang disebut sebagai al-atsar—rangkaian sanad yang sah, yang menyambungkan seorang murid kepada guru hingga sampai kepada Nabi Muhammad SAW.

Hal ini ditegaskan pula dalam riwayat dari Asyhal bin Hatim, dari Ibn Aun, dari Muhammad:

“Ilmu merupakan urusan agama. Maka perhatikan dari siapa ilmu itu kalian dapatkan!”

Dalam konteks ini, menjaga sanad ilmu bukan hanya bentuk kehati-hatian intelektual, tetapi juga wujud ketakwaan kepada Allah dalam menyampaikan dan mengamalkan ajaran agama. Maka tidak heran, bila para ulama terdahulu begitu tegas dan selektif dalam menerima ilmu, serta sangat menghargai para guru yang menjadi penghubung keilmuan kepada Nabi Muhammad SAW.

Sebagai umat Islam masa kini, pelajaran besar ini penting untuk direnungkan, apalagi di tengah era digital yang memungkinkan siapa pun menyampaikan pendapat atas nama agama. Kredibilitas sumber dan jalur keilmuan harus menjadi perhatian utama, agar kita tidak terjebak pada amalan atau keyakinan yang tidak memiliki akar dari sanad yang sahih.
×
Berita Terbaru Update