![]() |
Foto Ilustrasi: BAS |
Kasus ini ditangani oleh Direktorat Reserse Siber Polda Jabar. Tri Yanto dijerat dengan Pasal 48 jo Pasal 32 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dengan tuduhan tindak pidana akses ilegal serta penyebaran dokumen rahasia. Pemeriksaan pertama terhadap Yanto sebagai tersangka dilakukan pada Senin, 26 Mei 2025.
Namun, penetapan status tersangka ini memicu gelombang kritik dari kalangan pembela hak asasi manusia dan pegiat kebebasan berekspresi. Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Heri Pramono, menyebut tindakan ini sebagai bentuk kriminalisasi terhadap whistleblower yang sejatinya berperan penting dalam pengawasan publik.
“Ini merupakan kemunduran atas peran serta masyarakat membantu negara memberantas praktik korupsi, terlebih lagi di lembaga sosial yang menghimpun dana dari publik,” ujar Heri dikutip dari Tempo, Selasa, 27 Mei 2025.
Menurut Heri, laporan yang dilakukan Tri Yanto seharusnya dilindungi secara hukum karena bertujuan membongkar praktik dugaan korupsi yang merugikan negara. LBH Bandung menegaskan bahwa tindakan Yanto merupakan bagian dari partisipasi publik yang dijamin dalam sistem demokrasi.
Tri Yanto sendiri diketahui telah menyampaikan laporan dugaan korupsi dana zakat senilai Rp 9,8 miliar dan dana hibah dari APBD Pemprov Jawa Barat sekitar Rp 3,5 miliar kepada berbagai pihak, termasuk tim pengawas internal Baznas dan Inspektorat Provinsi. Namun, alih-alih ditindaklanjuti, Yanto justru dipolisikan dan mengalami pemutusan hubungan kerja secara sepihak.
“Tri Yanto bahkan telah di-PHK secara sewenang-wenang oleh Baznas Jabar tanpa alasan yang jelas, padahal ia sudah berstatus sebagai karyawan tetap,” tambah Heri.
LBH Bandung mendesak Baznas Jabar untuk mencabut laporan polisi terhadap Tri Yanto dan menghentikan kriminalisasi terhadap pelapor. Mereka juga menyerukan perlindungan hukum yang kuat bagi para whistleblower di Indonesia agar tidak menjadi korban tekanan balik dari pihak-pihak yang dilaporkan.
Kecaman serupa datang dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet). Dalam keterangan tertulis, SAFEnet menilai kasus ini mencerminkan lemahnya perlindungan terhadap kebebasan berekspresi dan partisipasi publik di Indonesia, khususnya di ranah digital.
“Ini adalah bentuk nyata kriminalisasi atas kebebasan berekspresi dan partisipasi publik. Pasal-pasal karet seperti Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU ITE kembali digunakan untuk membungkam suara publik,” tulis SAFEnet.
SAFEnet juga mencatat bahwa tren kriminalisasi serupa kian meningkat, dan tidak lagi terbatas pada pasal-pasal pencemaran nama baik, ujaran kebencian, atau berita bohong. Hal ini menjadi peringatan serius bagi iklim demokrasi dan transparansi di Indonesia.
Kasus Tri Yanto kembali membuka perdebatan tentang urgensi revisi UU ITE dan pentingnya sistem perlindungan menyeluruh bagi pelapor korupsi. Di tengah upaya mendorong transparansi dan akuntabilitas lembaga publik, kriminalisasi terhadap whistleblower justru menciptakan efek jera bagi masyarakat yang ingin berkontribusi dalam pemberantasan korupsi.