Pada Rabu pagi, 2 Juli 2025 pukul 09.36 WIB, cuitan Mahfud MD di akun X (dulu Twitter) miliknya kembali menggugah kesadaran publik tentang wajah hukum di Indonesia yang masih jauh dari kata adil. Cuitan yang sederhana namun tajam itu menyentil kenyataan pahit yang dirasakan banyak rakyat kecil: hukum belum berpihak secara setara.
“Sering kita lihat. Jika orang kuat scr ekonomi atau politik berkasus saat diusut hasilnya 'Tak ada dua alat bukti yg cukup'. Tp kalau orang kecil diusut dlm satu kasus meski punya alibi kuat dan tak cukup alat bukti dibilang 'Nanti saja jelaskan pengadilan’.”
Cuitan itu viral dan langsung mendapat reaksi luas dari warganet. Lebih dari 200 ribu orang menyukainya, 7 ribu menyimpan, dan ribuan lainnya membagikan dan berkomentar. Tapi lebih dari sekadar viral, isi cuitan tersebut adalah jeritan moral dari seorang tokoh bangsa yang pernah berada di lingkar kekuasaan dan sistem hukum tertinggi di republik ini.
Dua Alat Bukti: Norma Hukum atau Tameng Kepentingan?
Dalam sistem hukum Indonesia, dua alat bukti yang cukup adalah syarat formil untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Namun seperti yang Mahfud ungkapkan, syarat ini kerap menjadi alat penyelamat bagi mereka yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik. Di sisi lain, ketika pelakunya adalah rakyat biasa, syarat itu seperti tak berlaku. Bahkan dengan minimnya bukti, mereka tetap dibawa ke meja hijau.
Ironisnya, ketika orang kecil justru memiliki alibi kuat, suara mereka dianggap belum saatnya didengar: “Nanti saja dijelaskan di pengadilan.” Padahal proses menuju pengadilan bisa menjadi malapetaka tersendiri bagi masyarakat bawah — dari biaya, stigma, tekanan sosial, hingga kehilangan pekerjaan dan masa depan.
Hukum Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas?
Pernyataan Mahfud MD mengukuhkan adagium lama yang masih relevan hingga kini: “hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.” Ia bukan sekadar opini pribadi, melainkan pengakuan dari seorang akademisi hukum yang pernah menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi dan Menkopolhukam. Ia memahami sistem dari dalam, tahu celah-celahnya, dan melihat langsung bagaimana hukum dipraktikkan secara diskriminatif.
Dan pertanyaannya, sampai kapan kondisi ini dibiarkan?
Keberanian Menyuarakan Kebenaran
Apa yang dilakukan Mahfud MD patut diapresiasi. Di saat banyak pejabat memilih diam, ia justru mengambil risiko untuk bersuara. Di tengah arus pembungkaman dan pengaburan realitas hukum, Mahfud menjadi salah satu tokoh yang tetap teguh menyuarakan nurani.
Cuitan itu bukan sekadar kritik, tapi ajakan untuk merefleksikan kembali arah reformasi hukum kita. Keadilan seharusnya tidak mengenal strata sosial. Ia tidak boleh tunduk pada kekuasaan, uang, atau popularitas.
Menuju Reformasi Hukum yang Berpihak
Jika sistem hukum ingin kembali dipercaya, maka yang perlu dilakukan bukan sekadar kosmetik atau retorika politik. Yang dibutuhkan adalah reformasi menyeluruh: dari penegak hukum yang berintegritas, proses hukum yang transparan, hingga keberanian untuk memproses siapa pun tanpa pandang bulu.
Rakyat kecil tidak butuh perlakuan istimewa. Mereka hanya ingin hukum yang adil, yang bekerja dengan prinsip yang sama untuk semua orang. Karena saat hukum mulai memilih siapa yang harus ditegakkan dan siapa yang harus dilindungi, maka yang runtuh bukan sekadar keadilan — tapi juga kepercayaan pada negara.
Penutup
Cuitan Mahfud MD adalah cermin. Ia merefleksikan wajah hukum kita hari ini yang masih pincang. Pertanyaannya: apakah kita cukup berani untuk menatap cermin itu, atau memilih untuk terus memalingkan wajah?
Karena keadilan sejati bukan diukur dari siapa yang dihukum, tapi dari bagaimana hukum melindungi yang lemah dan menahan yang berkuasa.
— Redaksi Teras Muda Cianjur
Suara Muda, Suara Perubahan