-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Jauhi Prasangka di Era Media Sosial

Rabu, 03 September 2025 | 15.51 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-03T08:51:54Z
Mengurai makna hadis riwayat Bukhari dan relevansinya hari ini

“Jauhilah prasangka buruk, karena prasangka buruk adalah ucapan yang paling dusta. Jangan saling mendiamkan, saling mencari kejelekan, menipu dalam jual beli, saling dengki, saling memusuhi, dan jangan saling membelakangi. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR Bukhari)

Hadis ini adalah peta etika sosial yang sangat lengkap. Ia menuntun cara berhubungan antarmanusia dari cara berpikir, berbicara, berdagang, hingga mengelola emosi. Di era teknologi dan media sosial ketika opini melaju lebih cepat daripada verifikasi pesan Nabi ﷺ ini terasa makin mendesak.

Di bawah ini penjelasan ringkas namun mendalam setiap larangan dan perintah dalam hadis, dilengkapi rujukan Al-Qur’an dan hadis lain yang berhubungan, beserta penerapannya pada ruang digital masa kini.

1) “Jauhilah prasangka buruk” — Hentikan su’uzhan, bangun husnuzhan

Makna: Su’uzhan (prasangka buruk) adalah menilai orang lain tanpa bukti yang sah. Akarnya sering dari ketidaktahuan atau luka batin. Nabi ﷺ menyebutnya “ucapan paling dusta” karena prasangka mudah berubah jadi narasi menipu—disangka fakta, padahal hanyalah asumsi.

Dalil terkait:

“Wahai orang beriman… jauhilah banyak dari prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa.” (QS Al-Hujurat 49:12)

“Dan jangan mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS Al-Isra’ 17:36)

Konteks digital:

Jangan komentar hanya dari judul (clickbait). Baca isi, cek tanggal, lihat sumber.

Waspadai deepfake, potongan video tanpa konteks, dan screenshot yang bisa dimanipulasi.

Terapkan husnuzhan by default: cari penjelasan terbaik sebelum menyimpulkan terburuk.

Praktik: Terapkan prinsip tabayyun—verifikasi dulu sebelum percaya atau membagikan informasi (QS Al-Hujurat 49:6).

2) “Jangan saling mendiamkan” — Putuskan hajar, bangun dialog

Makna: Hajr (memutus komunikasi) memupuk jurang dan kebencian. Islam melarang memboikot saudara lebih dari tiga hari, kecuali ada alasan syar’i dan mekanisme islah.

Dalil terkait:

“Tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari…” (HR Bukhari & Muslim)

Konteks digital:

Ghosting, unfollow karena beda pendapat, atau block sebagai pelarian—sering membuat konflik makin pekat.

Lebih baik DM dengan adab, cari klarifikasi, atau mediasi pihak ketiga.

Praktik: Jika emosi memuncak, tunda balasan 24 jam, lalu komunikasikan dengan tenang. Tujuannya islah, bukan menang debat.

3) “Jangan saling mencari kejelekan” — Stop tajassus & ghibah

Makna: Tajassus (mengintai aib) dan ghibah (membicarakan keburukan yang benar ada pada saudara tanpa kebutuhan syar’i) merusak kehormatan.

Dalil terkait:

“Janganlah mencari-cari kesalahan (tajassus), jangan menggunjing (ghibah).” (QS Al-Hujurat 49:12)

“Barangsiapa menutupi aib seorang muslim, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” (HR Muslim)

Konteks digital:

Doxxing, membocorkan chat pribadi, dan akun expose yang berburu aib—bertentangan dengan etika Islam.

Budaya forward rumor “katanya” melanggar adab: “Mengapa kalian menyebarkannya dengan lisan kalian… padahal kalian tidak punya ilmu tentangnya?” (QS An-Nur 24:15–16, makna)

Praktik: Jika bukan wewenang Anda dan tidak ada maslahat syar’i yang jelas, jangan simpan, jangan sebarkan.

4) “Jangan menipu dalam jual beli” — Transparansi adalah iman

Makna: Kejujuran dagang adalah ibadah. Menyembunyikan cacat barang, memanipulasi data, atau false advertising adalah ghisy (kecurangan).

Dalil terkait:

“Barangsiapa menipu kami maka ia bukan dari golongan kami.” (HR Muslim)

“Pedagang yang jujur dan amanah (kelak bersama) para nabi, shiddiqin, dan syuhada.” (HR Tirmidzi)

Konteks digital:

E-commerce: foto produk hiper-edit, fake review, flash sale palsu, menyalin testimoni tanpa izin—semua termasuk kecurangan.

Dropship/affiliates: wajib menyebutkan status kemitraan dan risiko produk.

Praktik: Cantumkan deskripsi yang jujur, kebijakan retur jelas, dan bukti asli. Ini barokah—menarik rezeki sekaligus menjaga reputasi.

5) “Jangan saling dengki” — Matikan api iri di budaya angka

Makna: Hasad adalah tak rela nikmat orang lain—ingin nikmatnya hilang. Lawannya ghibthah: termotivasi meniru kebaikan tanpa ingin nikmat orang lain lenyap.

Dalil terkait:

“Jangan saling hasad, jangan saling membenci…” (HR Muslim)

“Dan janganlah kamu iri terhadap karunia yang Allah lebihkan…” (QS An-Nisa’ 4:32)

Konteks digital:

Likes, views, followers memicu “agama angka”. Dengki melahirkan cyberbullying, report massal, dan fitnah.

Praktik: Ubah iri jadi ghibthah: belajar strateginya, perbaiki karya, doakan kebaikan; “Allahumma barik lahum”.

6) “Jangan saling memusuhi & membelakangi” — Tolak budaya cancel

Makna: Tabaghudh (permusuhan) dan tadabur di sini maknanya saling berpaling, pecah belah. Islam mengharuskan persaudaraan dan rekonsiliasi.

Dalil terkait:

“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara; maka damaikanlah antara kedua saudaramu.” (QS Al-Hujurat 49:10)

“Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya: tidak menzhalimi, tidak membiarkannya (tanpa bantuan)…” (HR Bukhari & Muslim)

Konteks digital:

Cancel culture sering menutup pintu taubat dan dialog. Kritik boleh, tapi adab wajib.

Algoritma memelihara “ruang gema” (echo chamber) yang memperlebar jurang. Kita perlu sadar, lalu menyeimbangkan paparan informasi.

Praktik: Pisahkan kritik terhadap ide dari serangan pribadi. Buka ruang klarifikasi. Unfollow boleh, permusuhan tidak.

7) “Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara” — Desain ekosistem yang teduh

Seruan puncak hadis adalah etos ukhuwah—membangun rasa aman, saling dukung, dan saling jaga martabat.

Dalil penguat:

“Perdamaian itu lebih baik.” (QS An-Nisa’ 4:128)

“Siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah berkata baik atau diam.” (HR Bukhari & Muslim)

Langkah praktis (khusus pengguna & pengelola media/komunitas):

1. Tabayyun standar: cek sumber, tanggal, konteks; tunda share jika ragu.

2. Kebijakan anti-aib: larang doxxing, leak chat pribadi, dan expose tanpa maslahat syar’i.

3. Etika komentar: kritik isi, bukan identitas; dilarang caci, sarkas, body shaming, SARA.

4. Moderasi restoratif: prioritaskan klarifikasi & edukasi ketimbang public shaming.

5. Kejujuran komersial: label iklan/afiliasi wajib; transparansi stok, harga, dan kondisi barang.

6. Ruang islah: sediakan kanal mediasi privat untuk sengketa warganet.

7. Amalkan “diam yang baik”: jika tak menambah manfaat, jangan posting.

Penutup

Hadis riwayat Bukhari di atas bukan sekadar pedoman etika personal, tetapi konstitusi akhlak sosial. Dalam dunia yang serba cepat dan bising, ia menuntun kita membangun budaya digital yang jernih: sangka baik, verifikasi, jujur, dan bersaudara. Dengan itu, konten menjadi amanah, interaksi menjadi ibadah, dan teknologi kembali melayani kemaslahatan umat.

Referensi pokok:

QS Al-Hujurat 49:6, 10, 12; QS Al-Isra’ 17:36; QS An-Nur 24:15–16; QS An-Nisa’ 4:32, 4:128.

HR Bukhari & Muslim: larangan mendiamkan >3 hari; “berkata baik atau diam”; persaudaraan muslim.

HR Muslim: “Barangsiapa menipu kami bukan dari golongan kami”; larangan hasad; keutamaan menutup aib.

HR Tirmidzi: pedagang jujur bersama para nabi, shiddiqin, syuhada.
×
Berita Terbaru Update