-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Ngopi Sambil Nyicip Daging Saudara?

Selasa, 23 September 2025 | 08.27 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-23T01:27:06Z


Ghibah: “Memakan daging saudaramu yang telah mati”

Penjelasan mendalam, dalil al-Qur’an & hadits, sentuhan filosofi, kata-kata bijak, dan relevansi dalam keseharian masyarakat Sunda

“Tahukah kalian apa itu ghibah?” Sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Rasulullah ﷺ bersabda: “Engkau menyebut saudaramu tentang apa yang dia benci.” Mereka bertanya: “Bagaimana kalau apa yang aku katakan tentang saudaraku itu benar?” Beliau ﷺ bersabda: “Jika yang engkau sebut itu benar maka engkau telah melakukan ghibah; dan jika yang engkau katakan itu dusta maka engkau telah melakukan fitnah (buhtan).” (HR. Muslim)

Hadits singkat itu seperti cermin tajam: ia memotret dosa lisan yang sering dianggap remeh, gurauan, komentar ‘hanya fakta’, atau obrolan ringan di warung kopi, namun dalam pandangan syariat ia bisa menggerogoti kehormatan, amanah, dan kohesi sosial. Dalam artikel ini kita kupas tuntas: apa itu ghibah, dalil-dalilnya, posisi fiqihnya, sentuhan filosofi, lalu bagaimana praktik panduan konkret bagi kehidupan sehari-hari khususnya di budaya Sunda.
 
1. Apa itu ghibah?

Secara bahasa, ghibah berarti “membicarakan seseorang di belakangnya”. Dalam terminologi syariat ghibah adalah menyebutkan tentang saudara muslim sesuatu yang ia benci, walau itu benar adanya. Perbedaan penting:

Ghibah (backbiting) = menyebut kebenaran tentang seseorang yang ia benci — tetap haram.

Buhtan / fitnah (slander, slanderous lie) = menyebutkan hal yang dusta tentang orang lain — dosa lebih besar, karena merusak nama baik dengan kebohongan.

Perumpamaan al-Qur’an sangat keras: Allah menanyakan, apakah kamu suka memakan daging saudaramu yang telah mati? (QS. al-Hujurat: 12). Metafora yang menjijikkan itu memberi gambaran betapa tercelanya perbuatan berghibah.
 
2. Dalil al-Qur’an dan Hadits utama

a. Al-Qur’an

QS. al-Hujurat (49):11–12 menegaskan larangan mengejek, menghina, dan secara khusus melarang ghibah: “... dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Apakah salah seorang di antara kamu suka memakan daging saudaranya yang telah mati? Tidaklah kamu membencinya...” (parafrasa). Ayat ini meletakkan ghibah dalam koridor dosa sosial yang serius.

QS. an-Nûr (24):4 memperingatkan bahaya menuduh tanpa bukti (kamu tahu konsekuensi hukum dan kehormatan), yakni menekankan bahaya fitnah/buhtan.

b. Hadits

Hadits yang Anda kutip (HR. Muslim) adalah rujukan primer yang menyatakan kategori ghibah dan buhtan secara tegas.

Hadits lain yang relevan: “Barang siapa yang menutupi aib seorang Muslim, Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat.” (HR. Muslim). Ini menunjukkan nilai pemaafan dan menutup aib sebagai amal saleh yang besar.

Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya” (HR. Muslim), maksudnya saling memperbaiki harus dilakukan dengan adab, bukan dengan publikasi cacat.
 
3. Posisi hukum (fikih) dan pengecualian

Secara umum, ghibah hukumnya haram dan termasuk dosa besar yang merusak kehormatan. Ulama menjelaskan beberapa pengecualian di mana menyebut keburukan atau kelemahan seseorang menjadi mubah (boleh) atau bahkan wajib:

  1. Untuk mencegah kemudharatan umum, mislakan napak tilas penipu yang berulang; memperingatkan masyarakat (dengan bukti dan pihak berwenang).
  2. Untuk hak penegakan hukum/keadilan, menegakkan perkara di pengadilan atau memberi informasi yang diperlukan bagi hakim atau atasan yang berwenang.
  3. Untuk nasihat yang ikhlas, jika maksudnya memperbaiki dan disampaikan secara privat, hati-hati, dan tanpa gaya mengungkit untuk menyudutkan.

Syarat yang biasa ditekankan ulama bila harus menyebutkan aib orang: ada kebutuhan nyata, tidak melebih-lebihkan, hanya pada penguasa/otoritas yang perlu tahu, serta dilandasi niat untuk memperbaiki bukan menjatuhkan.
 
4. Filosofi mendalam, mengapa larangan ghibah begitu tegas?

Dari sisi filsafat moral dan psikologi sosial:

Ghibah menggerogoti kepercayaan (trust capital): hubungan sosial bergantung pada rasa aman—bahwa kehormatan tidak akan disebarluaskan. Sekali kehilangan rasa aman, jaringan sosial retak.

Ghibah adalah produk ego yang haus validasi: orang yang suka mengghibah sering mencari pengakuan, status, atau hiburan dari cerita orang lain. Ini refleksi penyakit hati: riya’ (ingin dipuji), ujub (bangga), atau dengki.

Ghibah memutarbalikkan nilai: alih-alih menjaga ‘wajah’ orang lain (dignity), pelaku ghibah justru menikmati kehancuran reputasi. Ini bertentangan dengan tujuan syariat (maqasid) yang melindungi kehormatan (hifzh al-irdh).

Imam-imam tasawuf menekankan tazkiyat al-nafs (pembersihan jiwa): lidah adalah barometer hati. Bila hati suci, penuh tawadhu (rendah hati) dan kasih, lisan menjaga martabat orang lain.
 
5. Kata-kata bijak (original, bermuatan Islami)

“Lidah yang menyakiti lebih cepat membakar hubungan daripada api yang terlihat.”

“Menjaga kehormatan saudara adalah investasi akhirat; menyebarkannya adalah hutang di hari pembalasan.”

“Diam yang ikhlas lebih mulia daripada bicara yang menghancurkan.”

“Sebelum menyebut aib orang, tanyalah: apakah niatku memperbaiki atau mencari tepuk tangan manusia?”

“Budaya mulia bukan sekadar kata sopan, tetapi menjaga rahasia dan harga diri yang tak terlihat.”
 
6. Korelasi dengan keseharian orang Sunda: nilai budaya yang mendukung pencegahan ghibah

Masyarakat Sunda punya norma sosial dan kearifan lokal yang sangat sejalan dengan larangan ghibah:

Tepa selira (empati dan menghormati orang lain): prinsip ini mengajarkan menempatkan diri pada tempat orang lain sehingga tidak mudah membicarakan aibnya.

Silih asah, silih asih, silih asuh: semangat saling mengasah kemampuan, mengasihi, dan mengasuh mengarahkan komunikasi yang membangun, bukan merusak.

Adab ngariung (berkumpul): di warung kopi, lusian, atau arisan, ada tradisi basa-basi dan sopan santun—kesempatan untuk praktik menahan lidah.

Gotong royong / musyawarah desa: menyelesaikan masalah melalui musyawarah (bertemu langsung, terbuka, tetapi berkait ilmunya) jadi arena ideal menjauhi gosip; masalah dibicarakan pada forum yang tepat, bukan di balik punggung seseorang.

Contoh konkret:
Bila ada kabar negatif soal tetangga di pasar, tradisi Sunda yang sehat adalah “tanya yang bersangkutan atau tokoh kampung/RT dulu” bukan menyebarkan rumor. Hal ini menegakkan rasa hormat yang menjadi ciri masyarakat Sunda.
 
7. Panduan praktis: 12 langkah nyata untuk menjauhi ghibah dalam keseharian
  1. Tahan napas 3 detik sebelum melafalkan sesuatu tentang orang lain.
  2. Tanya tujuanmu: adakah manfaat riil? Jika tidak, jangan bicara.
  3. Pilih forum privat: bila perlu mengoreksi, lakukan empat mata dengan niat memperbaiki.
  4. Gunakan bahasa empatik: “Saya khawatir karena..., mungkin kita bisa bantu...” bukan “Dia itu begini!”
  5. Bagikan fakta pada otoritas (ketua RT, pengurus sekolah, atasan) bukan ke khalayak.
  6. Tegakkan adab bertanya: jangan menerima kabar dari satu sumber tanpa cross-check.
  7. Hindari “circle gosip”: keluar dari grup yang sering mengobrolkan aib.
  8. Praktikkan menutup aib: jika tahu kesalahan orang, beri saran privat dan beri kesempatan perbaikan.
  9. Ingat metafora Qur’an: bayangkan perumpamaan “memakan daging saudara” — ini membantu menahan lidah.
  10. Ajarkan anak dan keluarga: bimbing anak tidak ikut menyebarkan kabar buruk.
  11. Bertawakal & beristighfar: bila sudah terlanjur, minta maaf, mohon ampun, dan perbaiki.
  12. Bangun budaya positif: ganti gosip dengan cerita kebaikan; jadikan obrolan komunitas sebagai sarana dukungan.
 
8. Contoh skrip singkat: dari gosip menuju nasihat

Di warung kopi:

A: “Eh, dengar-dengar Pak Budi sering telat bayar, ya?”
B (alternatif bijak): “Wah, saya belum tahu faktanya. Kalau memang berulang, mending lapor ke pengurus koperasi supaya ditangani. Kalau tidak, kasihan juga kalau terus disebar kabar.”
 
9. Kesimpulan: Menjaga lidah, menjaga masyarakat

Ghibah bukan sekadar masalah etika; ia berdampak sosial, spiritual, dan psikologis. Larangan dalam al-Qur’an dan hadits menunjukkan bahwa menjaga kehormatan orang lain adalah bagian integral dari iman. Budaya Sunda dengan nilai-nilai seperti tepa selira dan silih asah, silih asih, silih asuh menyediakan landasan kultural yang kuat untuk mengekang kebiasaan menggunjing. Praktik sederhana, menahan lisan, memverifikasi kabar, dan menyampaikan koreksi secara privat—adalah langkah konkret yang bisa kita mulai hari ini.
 
 
Ringkasan

  • Ghibah = menyebutkan hal yang orang lain benci tentangnya, walau benar; haram dan berbahaya. (HR. Muslim; QS. al-Hujurat:11–12).
  • Sanksi moral/sosialnya berat: merusak nama baik dan kepercayaan komunitas.
  • Ada pengecualian terbatas untuk kepentingan keadilan atau mencegah bahaya, dengan syarat ketat.
  • Dalam praktik Sunda: kembangkan tepa selira, bicarakan masalah di forum yang tepat, dan ajarkan anak untuk menghormati nama baik orang.
  • Langkah konkret: tahan lidah 3 detik, verifikasi informasi, bicara dengan niat membangun, dan bila salah: minta maaf serta perbaiki.

Sumber rujukan singkat: Al-Qur’an (QS. al-Hujurat 49:11–12; QS. an-Nûr 24:4), Hadits shahih (HR. Muslim), teks hadits yang Anda kirim sejajar dengan rujukan sahih tersebut.
×
Berita Terbaru Update