-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Mendidik di Era Tipisnya Batas antara Tegas dan Salah

Kamis, 16 Oktober 2025 | 23.43 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-16T22:45:10Z
Kasus yang menimpa Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, menjadi potret suram bagaimana dunia pendidikan kita tengah kehilangan arah moral dan otoritasnya.

Sebuah peristiwa sederhana yang seharusnya menjadi ruang introspeksi internal sekolah justru membesar menjadi drama publik yang melibatkan hukum, politik, dan media sosial.

Awal Mula Kasus: Rokok di Sekolah dan Teguran yang Berujung Petaka

Semua berawal dari perbuatan beberapa siswa yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah, sebuah pelanggaran disiplin yang jelas tercantum dalam tata tertib sekolah mana pun di Indonesia. Sang kepala sekolah mengambil langkah tegas dengan menegur dan memberikan sanksi disiplin. Namun, tindakan itu kemudian dilaporkan oleh orang tua siswa ke polisi, karena dianggap mengandung unsur kekerasan.

Kasus ini kemudian menyebar cepat di media sosial, memicu gelombang opini publik. Ironinya, yang menjadi sorotan bukanlah kenakalan siswa yang merokok, melainkan cara kepala sekolah menegakkan disiplin.

Narasi publik pun bergeser, dari persoalan moral siswa menjadi persoalan hukum terhadap pendidik.

Ketika Orang Tua Lupa Peran Didik

Tindakan orang tua yang langsung melapor ke polisi menimbulkan perdebatan etis yang tajam. Banyak pihak menilai bahwa orang tua justru memperkuat perilaku salah anaknya dengan membawa masalah internal pendidikan ke ranah hukum.

Dulu, ketika seorang anak ditegur, bahkan dimarahi guru, orang tua akan mendukung penuh. Banyak masyarakat masih mengingat masa ketika anak yang “mengadu” ke rumah karena dimarahi guru malah balik dimarahi lagi oleh orang tuanya.

Karena di masa itu, ada satu prinsip sederhana yang dipegang teguh:

“Guru itu orang tua kedua. Kalau kamu dimarahi, pasti karena kamu salah.”

Kini, paradigma itu bergeser drastis. Sebagian orang tua lebih reaktif terhadap tindakan guru yang dianggap keras, tanpa menggali duduk persoalan. Dalam situasi seperti ini, otoritas moral guru melemah, dan pendidikan kehilangan ruh kebersamaannya.

Pemerintah Daerah: Gercep yang Berujung Blunder

Pemerintah daerah dan Dinas Pendidikan setempat bergerak cepat. Kepala sekolah dinonaktifkan untuk “menenangkan suasana” sambil proses hukum berjalan. Namun langkah cepat itu tanpa investigasi mendalam. Tidak ada penelusuran faktual yang transparan, tidak ada pembelaan atas prinsip proporsionalitas antara kesalahan dan sanksi.

Akibatnya, keputusan tersebut menuai hujatan dari masyarakat dan netizen. Banyak yang menilai bahwa pemerintah justru memperkuat budaya salah arah di mana siswa dan orang tua seolah dibenarkan, sementara guru dijadikan korban.

Langkah “gercep” yang seharusnya menunjukkan kehadiran negara dalam melindungi anak, justru ditafsirkan sebagai bentuk pelemahan wibawa pendidikan. Sebuah kesalahan prosedural yang bisa menjadi preseden buruk bagi masa depan kedisiplinan di sekolah-sekolah.

Aksi Mogok Belajar: Solidaritas yang Salah Arah

Setelah kepala sekolah dinonaktifkan, muncul aksi mogok belajar dari sebagian siswa yang menuntut agar kepala sekolah benar-benar dicopot. Sebuah ironi besar: siswa yang mestinya belajar tentang nilai-nilai tanggung jawab justru memilih aksi massa yang mendukung pelanggaran disiplin.

Fenomena ini memperlihatkan wajah baru dunia pendidikan kita: ketika media sosial lebih berpengaruh daripada ruang kelas, dan solidaritas sesama pelajar kadang berubah menjadi pembenaran atas perilaku salah.

Aksi ini bukan hanya bentuk ketidakdewasaan siswa, tetapi juga cermin dari krisis keteladanan dan lemahnya pendidikan karakter.

Dari Zaman Teguran Jadi Zaman Laporan

Jika kita mundur ke beberapa dekade lalu, hampir semua orang dewasa hari ini punya kenangan serupa: ditegur guru, dihukum karena terlambat, atau bahkan disuruh jongkok di depan kelas karena melanggar aturan.

Namun, tak satu pun dari mereka membawa kasus itu ke ranah hukum. Mengapa? Karena dulu masyarakat memahami bahwa pendidikan itu tak selalu lembut. Kadang, disiplin adalah bentuk kasih sayang yang keras.

Kini, dunia berubah. Ruang digital memberi suara pada semua pihak, termasuk mereka yang belum tentu memahami konteks.

Sekali video beredar, publik menghakimi tanpa menunggu fakta. Guru tak lagi punya ruang untuk menjelaskan, karena narasi sudah lebih dulu dibentuk oleh opini.

Krisis Otoritas dan Hilangnya Rasa Hormat

Dari kasus ini, tampak jelas bahwa wibawa guru sedang mengalami krisis serius. Ketika seorang kepala sekolah bisa langsung dicopot karena tindakan mendisiplinkan, maka pesan yang tersisa bagi para guru di lapangan adalah: “Jangan ambil risiko.”

Akibatnya, banyak guru kini enggan menegur, apalagi menghukum siswa yang melanggar aturan.
Padahal, tanpa disiplin, pendidikan kehilangan arah dan makna.

Ini bukan sekadar soal hukum atau peraturan, tapi soal nilai moral bangsa. Guru bukan hanya pengajar, tapi pembentuk karakter. Jika perannya terus dilemahkan, maka yang akan kita tuai adalah generasi yang tak lagi tahu batas antara hak dan tanggung jawab.

Antara Etika Lama dan Etika Baru

Kasus ini menjadi benturan keras antara dua paradigma:


Etika lama — yang menempatkan guru sebagai figur otoritatif, dengan pendekatan disiplin keras tapi penuh niat baik.

Etika baru — yang menekankan pendekatan humanis dan perlindungan anak secara hukum.

Keduanya sebenarnya bisa berdampingan. Namun ketika hukum dan politik bereaksi lebih cepat daripada nurani dan nalar, yang lahir adalah kebijakan yang emosional, bukan edukatif.

Penutup: Pendidikan Tanpa Keteladanan adalah Kekosongan

Kasus SMAN 1 Cimarga bukan sekadar insiden lokal, melainkan cermin nasional tentang rapuhnya relasi antara guru, orang tua, dan siswa. Pendidikan yang seharusnya membangun kesadaran moral kini terjebak dalam konflik kepentingan, sensasi media, dan kegamangan birokrasi.

Guru membutuhkan perlindungan, bukan kecurigaan. Siswa membutuhkan disiplin, bukan pembenaran.
Dan orang tua membutuhkan kebijaksanaan, bukan reaksi emosional.

Jika ketiganya tidak kembali bersinergi, maka sekolah hanya akan menjadi bangunan kosong — tempat anak hadir secara fisik, tapi kehilangan nilai hidup yang sesungguhnya.

Opini RedaksiTeras Muda Cianjur
“Ketika guru kehilangan wibawa, bangsa kehilangan arah.”
×
Berita Terbaru Update