![]() |
Ilustrasi: Istimewa |
Oleh: Admin
Kelangkaan gas LPG 3 kg semakin menjadi-jadi. Di berbagai daerah, masyarakat rela antre berjam-jam demi mendapatkan tabung melon yang menjadi kebutuhan pokok. Bahkan, ada tragedi memilukan: seorang ibu di Pamulang Barat meninggal dunia karena kelelahan saat antre gas di bawah terik matahari. Kejadian ini bukan sekadar insiden biasa, melainkan cerminan nyata dari kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat kecil.
Dampak Kebijakan yang Tidak Matang
Kelangkaan ini bukan terjadi begitu saja. Ada kebijakan baru dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mewajibkan pengecer memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) dan terdaftar di sistem Online Single Submission (OSS). Dalihnya, agar distribusi lebih tepat sasaran. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
Sebelumnya, masyarakat bisa membeli LPG 3 kg di warung-warung kecil dekat rumah. Kini, mereka harus pergi ke agen resmi yang jumlahnya terbatas dan jaraknya jauh. Akibatnya, antrean panjang tak terhindarkan. Tak sedikit yang pulang dengan tangan kosong karena stok gas cepat habis. Bagi mereka yang memiliki kendaraan, mungkin ini hanya perkara waktu dan tenaga. Namun, bagaimana dengan rakyat kecil yang tidak punya kendaraan dan harus berjalan kaki berkilo-kilometer?
Lebih ironis lagi, pemerintah berdalih bahwa kebijakan ini dibuat demi memastikan subsidi tepat sasaran. Faktanya, harga di tingkat agen memang tetap Rp 18.000–Rp 21.000, tetapi di lapangan harga bisa melambung hingga Rp 30.000 atau lebih. Jadi, siapa yang diuntungkan?
Ketimpangan Ekonomi yang Semakin Nyata
Krisis LPG 3 kg ini memperjelas jurang ketimpangan ekonomi. Mereka yang berduit bisa membeli dalam jumlah banyak untuk stok. Sementara rakyat kecil? Mereka hanya bisa berharap dan berdoa agar besok masih ada gas untuk memasak. Jika kelangkaan ini berlanjut hingga Ramadhan, bayangkan betapa sulitnya mereka menyiapkan sahur dan berbuka.
Di sisi lain, penghapusan pengecer tradisional juga merugikan banyak pihak. Warung-warung kecil yang selama ini menggantungkan hidup dari jualan LPG kini kehilangan mata pencaharian. Padahal, mereka berperan penting dalam distribusi LPG ke masyarakat bawah.
Solusi Nyata, Bukan Sekadar Retorika
Jika pemerintah benar-benar ingin distribusi LPG tepat sasaran, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan:
1. Evaluasi Kebijakan – Pemerintah harus mengakui bahwa kebijakan ini menciptakan masalah baru. Alih-alih mempersulit akses masyarakat, seharusnya pengecer tradisional tetap diperbolehkan dengan pengawasan ketat.
2. Distribusi Berbasis Data yang Akurat – Pastikan bahwa data penerima subsidi benar-benar valid. Jangan sampai orang kaya tetap bisa menikmati gas subsidi, sementara rakyat kecil harus berjuang mendapatkannya.
3. Perluasan Jaringan Distribusi – Jumlah agen harus diperbanyak agar masyarakat tidak perlu antre berjam-jam atau bepergian jauh untuk mendapatkan gas.
4. Pengawasan Harga – Pastikan harga LPG tetap sesuai dengan ketetapan pemerintah di seluruh rantai distribusi. Jika ada yang bermain harga, berikan sanksi tegas.
5. Alternatif Energi – Pemerintah harus mulai serius mengembangkan sumber energi alternatif yang lebih terjangkau bagi rakyat kecil, seperti kompor listrik bersubsidi atau biogas.
Kesimpulan: Kebijakan untuk Siapa?
Pemerintah harus sadar bahwa kebijakan yang dibuat di atas meja pertemuan tidak selalu sesuai dengan realitas di lapangan. Krisis LPG 3 kg adalah bukti bahwa kebijakan yang tidak matang hanya akan menyengsarakan rakyat kecil. Jika pemerintah tidak segera bertindak, bukan tidak mungkin kelangkaan ini akan memicu gejolak sosial yang lebih besar.
Rakyat butuh solusi, bukan janji. Butuh tindakan nyata, bukan sekadar alasan. Jika pemerintah tidak bisa menjamin ketersediaan energi yang terjangkau, lalu untuk siapa negara ini sebenarnya berpihak?