![]() |
Foto: Ilustrasi (dibuat dengan teknologi AI) |
Dalam lintasan sejarah Cianjur, kepemimpinan para bupati meninggalkan warisan yang tak ternilai bagi masyarakat dan daerahnya. Salah satunya adalah masa pemerintahan Raden Aria Adipati Suriadingrat dan Raden Aria Adipati Suria Nata Atmaja, dua sosok bupati yang memimpin Cianjur pada masa transisi penting, dari era pemerintahan kolonial Belanda hingga pendudukan Jepang. Dengan latar belakang trah bangsawan keturunan Dalem Cikundul, keduanya tak hanya dikenal karena garis keturunannya, tetapi juga karena kontribusi besar mereka terhadap pembangunan dan stabilitas daerah di tengah gejolak zaman.
1. Raden Aria Adipati Suriadingrat – Bupati Cianjur ke-11 (1920–1932)
Setelah R.A.A. Wiranatakusumah diangkat menjadi Bupati Bandung pada tahun 1920, jabatan Bupati Cianjur diserahkan kepada Raden Aria Adipati Suriadingrat, putra dari R.A.A. Surianataningrat, Bupati Lebak. Raden Aria Adipati Suriadingrat masih merupakan keturunan Dalem Cikundul (Raden Aria Wiratanu I), karena merupakan cucu dari Raden Moh. Musa.
Selama masa kepemimpinannya, Dalem Suriadingrat berjasa membangun Bendungan Batu Sahulu di Cikalong Kulon, yang mampu mengairi ratusan hektare sawah. Atas prestasinya dalam membangun wilayah Cianjur, pemerintah kolonial menganugerahkan kepadanya Bintang Oranye dan payung Songsong Kuning, sebuah penghargaan tertinggi yang tidak diberikan kepada semua bupati.
Setelah masa kepemimpinannya berakhir, jabatan Bupati Cianjur tidak dilanjutkan oleh putranya, melainkan oleh Raden Aria Adipati Suria Nata Atmaja (Dalem Abas). Sebelumnya, jabatan ini sempat diisi oleh Raden Sunarya, Patih Cianjur, selama dua tahun.
2. Raden Aria Adipati Suria Nata Atmaja (Dalem Abas) – Bupati Cianjur ke-12 (1934–1943)
R.A.A. Suria Nata Atmaja atau yang dikenal sebagai Dalem Abas merupakan Bupati Cianjur terakhir yang masih merupakan keturunan dari Dalem Cikundul (Raden Aria Wiratanu I). Masa kepemimpinannya berakhir seiring dengan masuknya penjajah Jepang ke Indonesia, termasuk ke wilayah Cianjur.
Menurut diktat Sejarah Cianjur yang disusun oleh Raden Syarifah Didoh, tentara Jepang mulai memasuki Cianjur pada tanggal 1 April 1941. Sebelumnya, mereka terlebih dahulu membombardir kota Cianjur melalui serangan udara menggunakan pesawat tempur. Serangan tersebut melumpuhkan pemerintahan kolonial Belanda di Cianjur, hingga akhirnya seluruh struktur pemerintahan diambil alih oleh Jepang.
Jepang kemudian mengganti istilah jabatan dalam pemerintahan dengan istilah dalam bahasa Jepang, antara lain:
- Bupati menjadi Kentyo
- Patih menjadi Fuku Kentyo
- Wedana menjadi Guntoyo
- Camat disebut Sontyo
- Residen di Bogor disebut Syu Tyokan
Penjajahan Jepang di Cianjur berakhir pada tahun 1944.