Masa Pascakemerdekaan
Pada tahun 1943–1945, Rd. Adiwikarta diangkat menjadi Bupati Cianjur ke-16. Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, diangkatlah Rd. Yasin Partadiredja, seorang komisaris polisi dari Jakarta, sebagai Bupati Cianjur ke-17. Ia menjadi Bupati Cianjur pertama setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Pada tahun yang sama, ia digantikan oleh R. Iyok Muhamad Sirodj (1945–1946) sebagai Bupati Cianjur ke-18.
Jabatan Bupati Cianjur kemudian diserahkan kepada Rd. Abas Wilagasomantri sebagai Bupati Cianjur ke-19 (1946–1948). Pada masa ini, Cianjur kembali diguncang oleh Agresi Militer Belanda yang membonceng Inggris. Pemerintah Kabupaten Cianjur terpaksa pindah sementara ke Sukanagara hingga tahun 1948. Setelah keadaan kembali aman, pemerintahan kabupaten dipindahkan kembali ke Cianjur. Namun, Rd. Abas Wilagasomantri kemudian dialihtugaskan menjadi Residen di Bogor.
Rd. Ateng Sanusi Natawiyoga dari Bandung menggantikan Rd. Abas sebagai Bupati Cianjur ke-20 dan memerintah dari tahun 1948 hingga 1950. Pada masa ini, pemerintahan mulai hidup kembali. Berbagai kesenian ditampilkan dalam peringatan Hari Jadi Cianjur dan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan.
Rd. H. Abbas Syihabudin, sesepuh Pondok Pesantren Gedong Asem Cianjur, menjadi saksi saat Dalem Ateng menghidupkan kembali tradisi helaran Kuda Kosong. Saat itu, H. Abbas baru diangkat sebagai karyawan Pemerintah Kabupaten Cianjur. Ia menerangkan bahwa tradisi Kuda Kosong pada masa ini mulai dikaitkan dengan hal mistis, yaitu dihubungkan dengan kehadiran Rd. Suryakancana, raja alam lelembut dari Gunung Gede, Cianjur.
Tujuan Dalem Ateng adalah untuk menunjukkan rasa hormat kepada Rd. Suryakancana karena dirinya bukanlah keturunan asli Cianjur. Selain itu, Haji Abbas juga menjelaskan bahwa Dalem Ateng menghidupkan tradisi membaca Surah Yasin setiap malam Selasa di Pendopo Cianjur. Tradisi tersebut mulai dilaksanakan setelah Dalem Ateng bersilaturahmi ke Pesantren Gedong Asem.