Di tengah semangat membangun kembali Cianjur pasca gempa dahsyat dua tahun lalu, masih ada sosok-sosok yang terpinggirkan dari hiruk-pikuk pembangunan. Salah satunya adalah Pak Abay, seorang kakek berusia 85 tahun yang hingga kini masih bertahan hidup di hunian sementara (huntara) di wilayah Cibulakan, Kecamatan Cugenang.
Hidup sendirian dalam bangunan sederhana beratap seng dan berdinding kayu, Pak Abay menjalani hari-harinya dalam gelap. Bukan hanya karena keterbatasan penerangan, tapi juga karena ia tak lagi bisa melihat. Kebutaan yang dideritanya membuat segala aktivitas menjadi perjuangan. Tanpa sanak saudara, tanpa pendamping, tanpa bantuan rutin, ia hidup seadanya, berserah pada waktu dan keadaan.
Waktu seolah berhenti bagi Pak Abay sejak rumahnya luluh lantak diguncang gempa. Ketika sebagian masyarakat mulai melanjutkan hidup di rumah baru yang dibangun dengan dukungan berbagai pihak, Pak Abay justru masih bergelut dengan keterbatasan. Tidak ada tempat tinggal tetap yang menjanjikan kenyamanan di usia senjanya. Tak ada program sosial yang menyentuh kehidupannya secara nyata.
Huntara yang ia tempati kini mulai lapuk. Atapnya bocor saat hujan, dan di musim dingin udara menusuk masuk dari celah-celah dinding. Makanan dan kebutuhan sehari-hari datang tidak menentu, bergantung pada kebaikan hati warga sekitar. Dalam kondisi seperti ini, hidup bukan lagi tentang mimpi, tetapi tentang bertahan.
Kisah Pak Abay adalah potret nyata dari sisi lain bencana yang kerap luput dari perhatian. Ia tidak meminta banyak—hanya ingin menjalani sisa usia dengan layak, manusiawi, dan tanpa rasa takut akan esok yang tak pasti.
Sudah waktunya semua pihak membuka mata dan hati. Karena membangun kembali sebuah daerah bukan hanya soal infrastruktur, tetapi juga tentang memastikan tidak ada satu pun warga yang tertinggal dalam derita sunyi.