-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Berhenti Mengukur Baju di Badan Orang Lain: Filosofi Hidup Tentang Batas dan Kesadaran Diri

Sabtu, 28 Juni 2025 | 12.54 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-28T05:54:16Z
Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan terbuka, banyak orang terjebak dalam satu kebiasaan yang diam-diam merusak: membandingkan diri dengan orang lain. Entah melalui pencapaian, gaya hidup, cara berpakaian, hingga cara bicara. Semua seolah bisa diukur, ditakar, dan dinilai… dengan standar kita sendiri.

Padahal, orang Sunda sejak dulu telah mengingatkan lewat satu kalimat sederhana tapi sangat dalam maknanya:

“Ulah sok ngukur baju kana awak batur.”
(Jangan suka mengukur baju di badan orang lain.)

Kalimat ini bukan hanya sindiran sosial, tapi juga bentuk filsafat hidup tentang kesadaran diri, batas, dan ketepatan sikap.

Filosofi Tentang Batas Diri (Welas Dirina, Welas Batur)

Mengukur baju di badan sendiri saja kadang belum tentu pas. Apalagi jika kita memaksa baju kita cocok di badan orang lain atau sebaliknya. Ini bukan sekadar soal perbandingan, tapi soal tidak menempatkan diri pada tempat yang seharusnya.

Dalam falsafah Sunda, "welas dirina" (mengasihi diri sendiri) dan "welas batur" (mengasihi orang lain) berjalan beriringan. Kita tidak bisa mencintai atau menghormati orang lain kalau kita sendiri tak paham batas diri. Maka, tidak mencampuri urusan orang lain atau tidak menghakimi jalan hidup orang lain adalah bentuk tertinggi dari tata krama batin.

Bahaya Membandingkan: Jebakan yang Menyesatkan

Saat kita terlalu sering mengukur baju di badan orang lain, kita mudah tergelincir ke dalam iri, dengki, dan perasaan tidak pernah cukup. Apa yang orang lain pakai, punya, atau capai jadi alat ukur untuk menilai diri sendiri. Padahal kehidupan itu unik. Baju orang lain mungkin terlihat bagus, tapi belum tentu nyaman jika kita yang memakainya.

Begitu pun dengan urusan hidup: pekerjaan, jodoh, rezeki, bahkan cara mendidik anak. Semuanya punya ukuran, ritme, dan proses yang berbeda. Membandingkan diri sendiri dengan orang lain hanya akan membuat kita kehilangan arah dan kehilangan syukur.

Kesadaran sebagai Kunci: Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh

Daripada saling mengukur atau saling menghakimi, orang Sunda diajarkan untuk menjalani hidup dengan "silih asah, silih asih, silih asuh" – saling mengasah kecerdasan, saling mengasihi dengan cinta, dan saling mengasuh untuk tumbuh bersama.

Artinya, kita tidak hidup untuk mengatur atau menilai jalan orang lain, tapi untuk mendampingi satu sama lain menjadi pribadi yang lebih utuh. Bila ada baju orang lain yang tampak lebih indah, bukan untuk ditiru, tapi cukup dijadikan inspirasi—bukan iri.

Kenali Ukuran Diri, Jaga Batas Laku

Dunia ini luas, dan setiap orang berjalan dengan sepatunya sendiri. Kita tidak pernah tahu seberapa berat langkah orang lain, meski sepatu mereka tampak mahal. Kita juga tidak tahu luka yang mereka sembunyikan di balik senyum yang lebar.

“Ulah sok ngukur baju kana awak batur.”

Ukurlah baju sendiri. Jalani hidupmu dengan ukuranmu. Hargai jalan orang lain seperti kamu ingin dihargai.

Karena hidup bukan soal siapa yang lebih baik, tapi siapa yang paling tahu caranya menjaga martabat tanpa harus menjatuhkan orang lain.
×
Berita Terbaru Update