“Harta sudah ada. Tanggal pernikahan pun sudah ditentukan. Mahar siap. Tapi calon belum juga ada.” Barangkali pernyataan ini terdengar seperti candaan. Tapi tidak bagi sebagian orang yang serius menjemput pernikahan sebagai ibadah. Justru inilah potret keresahan yang tak sedikit dirasakan oleh mereka yang telah menata niat, namun belum bertemu takdirnya.
Dalam sebuah ceramah yang menyentuh hati, Ustadz Dr. Adi Hidayat, Lc., MA., menyampaikan pesan yang membumi namun sarat makna: pernikahan bukan hanya soal cinta dan kesiapan materi, melainkan tentang niat yang benar dan jalan ikhtiar yang diridhoi Allah.
Niat, Titik Awal Segalanya
“Bagaimana caranya? Ikhtiar. Itu poinnya,” tegas Ustadz Adi membuka pesan dakwahnya. Niat menjadi pondasi utama. Jika seseorang berniat menikah karena ingin beribadah dan menaati Allah serta Rasul-Nya, maka niat itu akan menuntun langkah berikutnya.
Ia mengingatkan, jangan sampai niat menikah hanya sebatas ingin bersama karena cinta. “Yang belum beriman pun bisa menikah. Tapi kalau hanya karena cinta, tanpa menjadikan agama sebagai prioritas, maka akan mudah tergelincir.” Banyak yang meninggalkan agamanya hanya demi mewujudkan cinta semu—yang tak akan abadi hingga akhirat.
Doa dan Ikhtiar: Sejalan dan Saling Menguatkan
Setelah niat terpatri, langkah selanjutnya adalah doa. Bukan sekadar permintaan, tapi doa yang meneguhkan: “Ya Allah, aku ingin menikah karena ingin taat kepada-Mu.”
Dari niat dan doa itu, Allah akan mengatur jalan terbaik. “Ikhtiar itu akan diarahkan Allah ke tempat-tempat yang mendekatkan pada-Nya,” ujar Ustadz Adi. Ia menyarankan agar mereka yang ingin menikah mendekat ke masjid, hadir di majelis ilmu, dan berada di lingkungan yang baik.
Berani Bertanya, Tanda Serius Mencari
Tak perlu malu mencari. Justru keberanian menunjukkan keseriusan. Ustadz Adi mencontohkan, bila perlu datang ke pesantren, bertemu langsung dengan para kiai, menyampaikan niat baik:
“Pak Kiai, saya usia 26 tahun, alhamdulillah harta cukup, penghasilan ada. Adakah santriwati di sini yang mungkin cocok menjadi istri saya?”
Dengan cara yang terhormat, seseorang dapat menemukan jodohnya dalam suasana penuh keberkahan. Bahkan, Ustadz Adi mengilustrasikan dengan nada canda: “Kalau kamu baru hafal juz 30, biar Pak Kiai carikan yang sudah hafal 30 juz. Biar nanti bisa sama-sama mengejar.”
Kisah Nyata: Ketika Hafalan Al-Qur’an Menyatukan Cinta
Dalam ceramahnya, Ustadz Adi juga membagikan kisah nyata yang menggetarkan. Sepasang suami istri, sang suami sibuk bekerja, namun mengajukan cuti 10 hari terakhir Ramadhan untuk i’tikaf dan menghafal Al-Qur’an.
Dalam waktu singkat, ia berhasil menghafal 3 juz. Momen itu menjadi titik balik hidupnya. Ia pun menata niat untuk menyelesaikan 30 juz. Istrinya tidak hanya mendukung secara moral, tapi menjadi sponsor sejati: waktu, tenaga, semangat. Keduanya akhirnya berhasil khatam 30 juz bersama.
Tak berhenti di sana. Suami itu mengejar sanad, dan dengan semangat yang sama, terus memperdalam hafalannya. Sampai suatu hari, ia menemukan sebuah lembaran di laci rumah—ternyata sang istri telah lebih dahulu hafal Al-Qur’an dengan tujuh riwayat. Namun ia memilih untuk tidak mengungkapkannya sejak awal, demi menghormati perjuangan sang suami.
“Inilah ketika Allah sudah berkehendak,” ujar Ustadz Adi penuh haru. “Dia akan kirimkan pasangan terbaik, lewat jalan yang tidak disangka-sangka.”
Penutup: Bukan Soal Cepat, Tapi Soal Tepat
Pesan dari ceramah ini sederhana tapi dalam: menikah itu ibadah. Maka niatnya harus lurus, jalannya harus baik, dan caranya harus benar. Jangan takut untuk memulai dengan mendekat kepada Allah. Jangan malu untuk mencari lewat jalur yang syar’i.
Karena pada akhirnya, jodoh bukan tentang siapa yang paling cepat tiba, tapi siapa yang paling tepat dipertemukan oleh Allah.
“Jika Allah sudah berkehendak, maka tidak ada yang bisa menghalangi. Termasuk pertemuan dengan jodoh terbaik, yang akan menguatkan jalan menuju surga.”