-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Iran vs Israel: Masihkah Umat Islam Bingung Harus Mendukung Siapa?

Sabtu, 21 Juni 2025 | 11.15 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-21T04:15:40Z
“Memangnya masih ada Muslim yang masih bingung dukung siapa terhadap konflik yang terjadi antara Iran vs Israel?”

Pertanyaan tajam ini dilontarkan oleh Gus Hilmi, pimpinan YPI Baitul Hikmah dan pengasuh PPA Assa’adah, pada Jumat, 20 Juni 2025 melalui akun X resminya. Sebagai seorang dai, penulis, dan pendidik, ucapan beliau mengandung dorongan untuk berpikir jernih di tengah kabut informasi dan propaganda yang terus mengepung umat Islam.

Pertanyaan itu bukan tanpa dasar. Dalam konflik antara Iran dan Israel, tak sedikit umat Islam yang merasa berada di persimpangan: mendukung Iran yang Syiah atau mendukung siapa saja yang memusuhi Israel, sekalipun dengan rasa was-was. Ini membuka kembali perdebatan lama soal hubungan antara Sunni-Syiah, politik regional, dan musuh bersama: penjajahan Zionis atas tanah Palestina.

Membedah Akar Konflik Iran vs Israel

Konflik antara Republik Islam Iran dan entitas Zionis Israel bukan konflik biasa. Bukan pula sekadar pertarungan antarnegara di Timur Tengah. Ini adalah perseteruan ideologis, strategis, dan geopolitik yang berlangsung lebih dari empat dekade.

Iran, sejak Revolusi Islam 1979 yang dipimpin Ayatollah Khomeini, menetapkan garis perjuangan “anti-Zionisme” sebagai bagian inti dari kebijakan luar negerinya. Mereka menyatakan dukungan terbuka terhadap perjuangan rakyat Palestina dan kelompok-kelompok perlawanan seperti Hizbullah di Lebanon dan Hamas di Gaza. Sebaliknya, Israel melihat Iran sebagai ancaman eksistensial karena kekuatan militernya dan pengaruhnya terhadap “Poros Perlawanan” (Axis of Resistance) di Timur Tengah.

Namun, pertanyaan pentingnya: Apakah dukungan terhadap Iran dalam konflik ini berarti membenarkan atau menerima seluruh ideologi Syiah?

Sunni dan Syiah: Akidah Tak Sama, Tapi Musuh Bisa Sama

Realitasnya, Sunni dan Syiah memang berbeda dalam hal akidah, fiqih, dan sejarah. Perbedaan itu nyata dan sudah berlangsung sejak wafatnya Rasulullah SAW. Sunni meyakini kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai yang pertama, sementara Syiah menganggap Ali bin Abi Thalib adalah yang paling berhak. Dari sinilah awal perbedaan berkembang menjadi mazhab, bahkan kadang menjadi konflik berdarah dalam sejarah.

Namun, dalam konteks geopolitik kekinian, terutama terhadap agresi Israel atas Palestina, perbedaan tersebut tak otomatis menutup kemungkinan adanya kerjasama strategis. Seorang Muslim Sunni bisa saja tetap memegang teguh keyakinannya, namun mendukung langkah militer atau diplomatik Iran jika terbukti efektif melawan Israel yang nyata-nyata menindas rakyat Palestina.

"Laa yuhibbuhum man yu’minu billah wal yaumil akhir" – begitulah prinsip solidaritas terhadap kaum tertindas, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi SAW. Dalam konteks ini, musuh umat (Israel) jauh lebih berbahaya daripada perbedaan internal mazhab yang bisa dibahas secara ilmiah dan akademik.

Ketika Keberpihakan Jadi Ujian Akal dan Iman

Sebagian umat Islam merasa bingung karena narasi sektarian seringkali dipakai untuk melemahkan solidaritas Islam. Ada yang berkata, “Iran itu Syiah, jangan didukung!” Lalu secara tidak sadar lebih lunak terhadap Israel atau bahkan membiarkan agresinya demi menghindari seolah-olah menyetujui Iran.

Padahal, sikap seperti itu menunjukkan kekaburan dalam prinsip al-wala’ wal bara’ (loyalitas dan permusuhan). Dalam Islam, siapa pun yang menindas kaum Muslimin – terutama di tanah suci Palestina adalah musuh bersama. Dan siapa pun yang berdiri membela Palestina, patut diberi apresiasi, bukan dikucilkan karena perbedaan mazhab.

Apakah Iran Tanpa Dosa? Tentu Tidak.

Dalam tulisan ini, bukan berarti kita menutup mata terhadap problematika internal Iran. Iran juga melakukan penindasan terhadap kelompok Sunni di beberapa wilayahnya, dan memaksakan ideologi wilayah faqih yang tak sesuai dengan prinsip demokrasi universal. Namun, dalam konflik dengan Israel, kita tak sedang membela Iran sebagai negara atau Syiah sebagai ideologi, melainkan mendukung siapa saja yang berdiri di sisi Palestina.

Umat Islam perlu belajar bersikap dewasa dalam memilah mana isu akidah dan mana isu kemanusiaan. Menolak Syiah sebagai mazhab tak berarti harus menutup mata terhadap kebenaran perjuangan Iran di front Palestina. Begitu pula mendukung Palestina tak harus identik dengan membela negara-negara Arab Sunni yang justru kini menjalin normalisasi dengan Israel.

Jadi, Masih Bingung Dukung Siapa?

Seharusnya tidak.

Apapun mazhabnya, siapapun negaranya, jika mereka mendukung kebebasan rakyat Palestina dan melawan penjajahan Israel, maka dalam konteks itu mereka adalah sekutu strategis umat Islam. Perbedaan teologis tak boleh jadi penghalang untuk bersatu melawan kezaliman global.

Umat Islam, terlebih di Indonesia, perlu melampaui romantisme sektarian dan mulai melihat konflik Timur Tengah dengan kacamata ummatan wahidah, satu umat yang berpihak kepada keadilan.

Penutup:

Gus Hilmi benar. Pertanyaannya menyentil nalar dan hati kita: masihkah ada yang bingung? Jika masih, mungkin karena kita belum memurnikan niat bahwa yang kita bela bukan Syiah, bukan Arab, bukan Farsi, tapi Palestina.

Dan dalam membela Palestina, siapapun yang berada di garis depan, layak kita beri dukungan. Bukan karena mereka sempurna, tapi karena musuh bersama kita adalah nyata: Israel, penjajah tanah suci yang sejak 1948 menginjak-injak hak, martabat, dan darah saudara-saudara kita di Gaza dan Tepi Barat.
×
Berita Terbaru Update