Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda:
"Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: 'Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.' Akan tetapi hendaklah kau katakan: 'Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.' Karena perkataan 'seandainya' dapat membuka pintu setan.” (HR. Muslim no. 2664)
Makna Bahasa dan Kandungan Hadis
Hadis ini sarat makna. Secara bahasa, kata "لو" (lau) dalam bahasa Arab yang berarti “seandainya” adalah bentuk pengandaian terhadap sesuatu yang sudah berlalu. Dalam konteks ini, Nabi ﷺ menyampaikan bahwa penggunaan kata tersebut setelah terjadinya musibah, bisa menjadi celah bagi setan untuk menyusupkan rasa penyesalan, keraguan terhadap takdir, bahkan bisikan su'uzhan kepada Allah.
Dalam bahasa Arab, redaksi hadis ini berbunyi:
"وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ، فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَذَا، كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ: قَدَّرَ اللَّهُ، وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ."
Perhatikan, Nabi menggunakan ungkapan تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ yang artinya “membuka perbuatan setan.” Artinya, ‘seandainya’ bukan hanya kata, tapi pintu—pintu masuk bagi setan untuk menanamkan rasa putus asa, kecewa, dan menolak takdir ilahi.
Tafsir Ulama Terhadap Hadis Ini
Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan, bahwa larangan mengucapkan “seandainya” bukan berarti dilarang secara mutlak. Yang terlarang adalah penggunaan “lau” yang mengandung unsur penyesalan dan protes terhadap takdir Allah. Karena hal itu menunjukkan ketidakridhaan kepada keputusan Allah Ta'ala.
Namun, jika “lau” digunakan dalam konteks pembelajaran atau pertimbangan masa depan, maka itu diperbolehkan. Misalnya: “Seandainya sistem keamanan kita lebih kuat, mungkin kejadian ini bisa dicegah.” Dalam hal ini, kata “seandainya” bukan bentuk keluhan atau penyesalan terhadap takdir, tapi bahan evaluasi.
Hikmah dan Pesan Moral
Rasulullah ﷺ mendidik umatnya untuk selalu memiliki sikap tawakal dan ridha terhadap qadha dan qadar Allah. Dalam hidup ini, kita tak selalu mampu mengendalikan segala hal. Namun, yang bisa kita kendalikan adalah bagaimana menyikapi hal tersebut.
Kalimat “Ini sudah jadi takdir Allah. Apa yang Dia kehendaki pasti terjadi” bukan sekadar ungkapan pasrah. Ia adalah pernyataan keimanan, ketundukan, dan bentuk kepasrahan total kepada Rabbul ‘Alamin.
Ini bukan berarti kita berhenti berusaha atau belajar dari kesalahan. Islam justru mendorong kita untuk introspeksi dan mengambil pelajaran. Tapi setelah semua ikhtiar dilakukan, kita diajarkan untuk lapang dada, karena hasil akhirnya adalah urusan Allah.
Mengapa Ini Penting Dalam Kehidupan Sehari-hari?
Di era digital dan sosial media, kita sering terjebak dalam romantisasi masa lalu atau penyesalan yang tidak produktif. “Seandainya aku ambil pekerjaan itu…” atau “Kalau saja dulu aku tidak memilih dia…” Dan seterusnya.
Padahal, setiap kejadian dalam hidup kita sudah tertulis di Lauhul Mahfuz jauh sebelum kita lahir. Allah berfirman:
"Tiada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya."
"Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: 'Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.' Akan tetapi hendaklah kau katakan: 'Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.' Karena perkataan 'seandainya' dapat membuka pintu setan.” (HR. Muslim no. 2664)
Makna Bahasa dan Kandungan Hadis
Hadis ini sarat makna. Secara bahasa, kata "لو" (lau) dalam bahasa Arab yang berarti “seandainya” adalah bentuk pengandaian terhadap sesuatu yang sudah berlalu. Dalam konteks ini, Nabi ﷺ menyampaikan bahwa penggunaan kata tersebut setelah terjadinya musibah, bisa menjadi celah bagi setan untuk menyusupkan rasa penyesalan, keraguan terhadap takdir, bahkan bisikan su'uzhan kepada Allah.
Dalam bahasa Arab, redaksi hadis ini berbunyi:
"وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ، فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَذَا، كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ: قَدَّرَ اللَّهُ، وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ."
Perhatikan, Nabi menggunakan ungkapan تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ yang artinya “membuka perbuatan setan.” Artinya, ‘seandainya’ bukan hanya kata, tapi pintu—pintu masuk bagi setan untuk menanamkan rasa putus asa, kecewa, dan menolak takdir ilahi.
Tafsir Ulama Terhadap Hadis Ini
Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan, bahwa larangan mengucapkan “seandainya” bukan berarti dilarang secara mutlak. Yang terlarang adalah penggunaan “lau” yang mengandung unsur penyesalan dan protes terhadap takdir Allah. Karena hal itu menunjukkan ketidakridhaan kepada keputusan Allah Ta'ala.
Namun, jika “lau” digunakan dalam konteks pembelajaran atau pertimbangan masa depan, maka itu diperbolehkan. Misalnya: “Seandainya sistem keamanan kita lebih kuat, mungkin kejadian ini bisa dicegah.” Dalam hal ini, kata “seandainya” bukan bentuk keluhan atau penyesalan terhadap takdir, tapi bahan evaluasi.
Hikmah dan Pesan Moral
Rasulullah ﷺ mendidik umatnya untuk selalu memiliki sikap tawakal dan ridha terhadap qadha dan qadar Allah. Dalam hidup ini, kita tak selalu mampu mengendalikan segala hal. Namun, yang bisa kita kendalikan adalah bagaimana menyikapi hal tersebut.
Kalimat “Ini sudah jadi takdir Allah. Apa yang Dia kehendaki pasti terjadi” bukan sekadar ungkapan pasrah. Ia adalah pernyataan keimanan, ketundukan, dan bentuk kepasrahan total kepada Rabbul ‘Alamin.
Ini bukan berarti kita berhenti berusaha atau belajar dari kesalahan. Islam justru mendorong kita untuk introspeksi dan mengambil pelajaran. Tapi setelah semua ikhtiar dilakukan, kita diajarkan untuk lapang dada, karena hasil akhirnya adalah urusan Allah.
Mengapa Ini Penting Dalam Kehidupan Sehari-hari?
Di era digital dan sosial media, kita sering terjebak dalam romantisasi masa lalu atau penyesalan yang tidak produktif. “Seandainya aku ambil pekerjaan itu…” atau “Kalau saja dulu aku tidak memilih dia…” Dan seterusnya.
Padahal, setiap kejadian dalam hidup kita sudah tertulis di Lauhul Mahfuz jauh sebelum kita lahir. Allah berfirman:
"Tiada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya."
(QS. Al-Hadid: 22)
Hadis ini menjadi pengingat agar kita menjaga lisan dan hati saat menghadapi ujian hidup. Daripada menyesali takdir dengan kata "seandainya", mari kita hadapi hidup dengan sabar, tawakal, dan ridha. Karena pada akhirnya, semua sudah dalam genggaman-Nya, dan Allah tidak pernah menzalimi hamba-Nya.
Wallahu a’lam.
Wallahu a’lam.