-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Djuanda Kartawidjaja: Jejak Langkah Tokoh Sunda Mendunia

Minggu, 20 Juli 2025 | 23.56 WIB | 0 Views Last Updated 2025-07-20T16:56:39Z


Dalam catatan sejarah Indonesia, nama Ir. H. Djuanda Kartawidjaja tidak hanya lekat dengan perjuangan diplomatik dan teknokratik, tetapi juga menjadi simbol ketulusan seorang abdi negara. Pria kelahiran Tasikmalaya, 14 Januari 1911 ini dikenal sebagai Perdana Menteri terakhir Republik Indonesia, pencetus Deklarasi Djuanda yang monumental, dan teladan kejujuran serta pengabdian dalam birokrasi negeri.
 
Masa Muda dan Pendidikan

Djuanda lahir dari keluarga terhormat Sunda. Ayahnya, Raden Kartawidjaja, adalah seorang guru di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sedangkan ibunya bernama Nyi Monat. Dari lingkungan keluarga yang menjunjung tinggi nilai pendidikan dan integritas, Djuanda tumbuh menjadi pribadi yang bersahaja dan visioner.

Pendidikan dasar ia jalani di HIS dan Europesche Lagere School (ELS), sebuah sekolah khusus anak-anak Eropa dan elit pribumi. Ia kemudian melanjutkan pendidikan ke Hoogere Burger School (HBS) di Bandung, yang kini menjadi lokasi SMA Negeri 3 dan SMA Negeri 5 Bandung. Tahun 1929, Djuanda diterima di Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS)—sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB)—dan mengambil jurusan teknik pengairan dan jalan (Wegen en Waterbouwkunde), hingga lulus tahun 1933 dengan gelar insinyur sipil (Civil Ingenieur).
 
Karier Awal dan Pilihan Hidup yang Membumi

Sebagai lulusan sekolah teknik bergengsi, Djuanda sebenarnya bisa meniti karier akademik atau profesional dengan gemilang. Ia sempat ditawari posisi asisten dosen di TH Bandung, namun ia justru memilih mengajar di SMA Muhammadiyah Jakarta. Gaji kecil tak menyurutkan tekadnya untuk mengabdi dan mendidik anak bangsa.

Selama empat tahun, ia menjadi pengajar dan sekaligus pimpinan sekolah Muhammadiyah, sebuah organisasi yang juga ia ikuti sejak muda. Tahun 1937, Djuanda masuk ke pemerintahan sebagai pegawai di Jawatan Irigasi Jawa Barat dan kemudian menjadi bagian dari Dewan Daerah Jakarta pada masa Hindia Belanda.
 
Pengabdian Setelah Kemerdekaan

Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, Djuanda berperan dalam pengambilalihan instansi strategis dari tangan Jepang. Pada 28 September 1945, ia memimpin aksi para pemuda untuk menguasai Jawatan Kereta Api di Jawa-Madura, dan kemudian diangkat sebagai Kepala Djawatan Kereta Api Republik Indonesia.

Karier politiknya dimulai ketika ia dipercaya menjabat sebagai Menteri Perhubungan di masa awal kemerdekaan. Posisi ini diembannya dalam beberapa kabinet, termasuk Kabinet Sjahrir, Hatta, Natsir, Sukiman, dan Wilopo. Ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Pengairan, Kemakmuran, Keuangan, dan bahkan Menteri Pertahanan. Kecakapan dan kepribadiannya yang bersahaja membuatnya bisa diterima oleh semua golongan, dari presiden hingga rakyat biasa.
 
Puncak Karier: Perdana Menteri dan Deklarasi Djuanda

Pada 9 April 1957, Djuanda diangkat sebagai Perdana Menteri Indonesia ke-11 sekaligus yang terakhir. Ia memimpin pemerintahan di tengah krisis politik dan ekonomi. Namun, warisan terbesarnya justru datang dari langkah strategisnya dalam mempertegas batas wilayah laut Indonesia.

Pada 13 Desember 1957, ia mencetuskan Deklarasi Djuanda, sebuah pernyataan bahwa laut sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia adalah bagian utuh dari wilayah kedaulatan NKRI. Sebelum deklarasi ini, wilayah laut Indonesia hanya sebatas 3 mil laut dari garis pantai setiap pulau, sesuai dengan ketentuan kolonial Belanda. Akibatnya, wilayah Indonesia terpecah oleh laut internasional.

Deklarasi Djuanda menjadi fondasi penting dalam pengakuan internasional atas konsep negara kepulauan (archipelagic state), yang kemudian diakui dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Sebuah pencapaian luar biasa dalam diplomasi maritim Indonesia.
 
Wafatnya Sang Tokoh

Pada malam 6 November 1963, Djuanda menghadiri sebuah acara di sebuah hotel di Jakarta bersama istri dan anaknya. Ia tiba-tiba jatuh pingsan pukul 23.25 WIB karena serangan jantung dan dinyatakan wafat tak lama setelahnya. Pemerintah menyampaikan duka nasional dan mengangkatnya sebagai Tokoh Nasional melalui Keputusan Presiden No. 224 Tahun 1963.

Djuanda dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, dengan upacara kenegaraan.
 
Warisan dan Penghargaan

  • Untuk mengenang jasanya, nama Djuanda diabadikan dalam berbagai tempat:
  • Bandar Udara Internasional Juanda, Surabaya
  • Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, Bandung
  • Stasiun Juanda, Jakarta
  • Uang kertas pecahan Rp50.000, edisi 2016 dan 2022

Djuanda juga menerima sejumlah tanda kehormatan dari dalam dan luar negeri, antara lain:

Dalam Negeri:

  • Bintang Republik Indonesia Adipradana (1961)
  • Bintang Gerilya
  • Bintang Bhayangkara Pratama
  • Satyalancana Jasadharma Angkatan Laut
 
Luar Negeri:

  • Order of the Yugoslav Flag with Sash (Yugoslavia)
  • Seri Maharaja Mangku Negara (Tun) (Malaysia)
  • Knight Grand Cordon of the Order of the Crown of Thailand
  • Order of the Flag of the People's Republic of Hungary
  • Order of the Star of the Romanian Socialist Republic
  • Grand Cross of the Order of Merit of the Federal Republic of Germany
  • Grand Cross of the Royal Order of Sahametrei (Kamboja)
 
Ir. H. Djuanda Kartawidjaja adalah contoh ideal dari seorang negarawan sejati. Tak hanya pintar dan berintegritas, ia juga rendah hati dan konsisten dalam pengabdiannya. Dalam sejarah Indonesia modern, nama Djuanda akan selalu tercatat sebagai tokoh yang memperkuat kedaulatan, menyatukan kepulauan, dan menunjukkan bahwa kesetiaan kepada negara tak selalu harus ditunjukkan dari panggung politik—tetapi dari ketulusan hati yang tak tergoyahkan.
×
Berita Terbaru Update