Berikut Ketika hujan turun, sebagian orang mengangkat tangan dan mengucap syukur, “Alhamdulillah, ini rahmat dari Allah.” Namun, tidak sedikit pula yang justru menggerutu atau mencari-cari alasan ilmiah seolah menafikan kekuasaan Allah, seperti berkata, “Oh pantas saja hujan, tadi sudah ada awan gelap dan angin kencang.” Dua sikap yang sangat berbeda ini telah Rasulullah ﷺ gambarkan lebih dari 1.400 tahun lalu.
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda:
"Pada suatu hari turun hujan di masa Nabi ﷺ, maka beliau bersabda, ‘Ada sebagian manusia yang bersyukur dan ada pula yang kufur nikmat. Adapun yang bersyukur berkata, ‘Hujan ini adalah rahmat dari Allah.’ Sedangkan yang kufur nikmat berkata, ‘Pantas saja, tadi sudah ada tanda begini dan begitu.’” (HR Muslim no. 71)
Memahami Isi Hadits: Dua Sikap, Dua Nasib
Hadits ini menggambarkan perbedaan sikap manusia terhadap fenomena alam yang sesungguhnya adalah bagian dari tanda-tanda kebesaran Allah. Hujan adalah salah satu bentuk rahmat Allah bagi makhluk-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an:
“Dan Kami turunkan dari langit air (hujan) yang diberkahi, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pepohonan dan biji-bijian yang dapat dipanen.”
(QS. Qaf: 9)
Orang yang beriman melihat turunnya hujan sebagai karunia dan kasih sayang dari Allah. Sebaliknya, orang yang kufur nikmat hanya memandang hujan sebagai peristiwa biasa yang terjadi karena sebab-sebab ilmiah semata, tanpa melibatkan makna spiritual atau ketundukan kepada Sang Pencipta.
Sikap seperti ini sejatinya mengurangi keimanan seseorang, bahkan bisa menjadi bentuk kesombongan terselubung. Karena ia tidak menyandarkan nikmat kepada Allah, tetapi kepada fenomena alam yang ia anggap berdiri sendiri.
Hujan dalam Pandangan Islam
Dalam Islam, hujan adalah berkah. Rasulullah ﷺ bahkan memiliki doa khusus ketika hujan turun:
اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا
"Ya Allah, jadikanlah hujan ini hujan yang bermanfaat."
(HR Bukhari no. 1032)
Tidak hanya itu, turunnya hujan juga menjadi waktu yang mustajab untuk berdoa:
“Dua doa yang tidak akan ditolak: doa ketika adzan dan doa ketika turun hujan.”
(HR Al-Hakim; disahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 3078)
Dari sini kita belajar bahwa hujan bukan hanya fenomena cuaca, tetapi juga momen spiritual yang membawa keberkahan dan peluang pengabulan doa.
Ilmu dan Iman: Harus Sejalan
Tentu, Islam tidak melarang umatnya mempelajari ilmu cuaca atau meteorologi. Namun, ilmu pengetahuan seharusnya menguatkan keimanan, bukan menggantikannya. Mengetahui bahwa awan cumulonimbus bisa menyebabkan hujan deras tidak seharusnya menjadikan kita lupa bahwa awan itu pun diciptakan dan digerakkan oleh Allah.
Sebagaimana Allah tegaskan dalam Al-Qur’an:
“Apakah kalian tidak melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkannya, lalu menjadikannya bertumpuk-tumpuk? Maka kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya...”
(QS. An-Nur: 43)
Ayat ini mengajarkan bahwa di balik mekanisme awan dan hujan yang bisa dipelajari secara ilmiah, ada tangan kekuasaan Allah yang mengaturnya.
Penutup: Latih Hati untuk Bersyukur
Hadits ini menjadi pengingat yang sangat relevan di era modern ini, di mana banyak orang terlalu mengandalkan logika dan ilmu, namun melupakan sisi iman. Kita diajarkan untuk tetap mengembalikan segala peristiwa kepada Allah — termasuk turunnya hujan.
Maka ketika hujan turun, sempatkanlah mengucap: “Alhamdulillah, ini rahmat dari Allah.” Karena siapa yang bersyukur, Allah janjikan akan ditambah nikmat-Nya, dan siapa yang kufur, tunggulah akibatnya.
“Jika kalian bersyukur, pasti Aku akan menambah nikmat untuk kalian. Tetapi jika kalian kufur, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
(QS. Ibrahim: 7)