"Kuda itu berjalan gagah, diiringi tabuhan marawis dan alunan bangkong reang. Tak ada penunggang, tapi masyarakat percaya ia tak pernah benar-benar sendiri."
Di tengah riuhnya pawai Hari Jadi Cianjur dan peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia, ada satu pemandangan yang selalu menyedot perhatian: seekor kuda tanpa penunggang berjalan perlahan, dihias indah dengan jubah kerajaan dan payung emas menaunginya. Dialah simbol yang oleh masyarakat Cianjur dikenal sebagai Kuda Kosong.
Tradisi ini bukan sekadar pertunjukan. Ia adalah ritual. Ia adalah penghormatan. Ia adalah kisah panjang diplomasi, spiritualitas, dan jati diri Cianjur yang tak lekang oleh zaman.
Jejak Sejarah: Dari Mataram ke Cianjur
Cerita bermula pada masa kekuasaan Kerajaan Mataram. Cianjur, yang kala itu masih berupa kabupaten muda, rutin mengirim upeti sebagai bentuk penghormatan: tiga biji cabai, tiga butir padi, dan tiga biji lada—simbol hasil bumi dan ketundukan. Namun, diplomasi tak selamanya bermakna tunduk. Kala hubungan menghangat, Mataram mengirim hadiah istimewa: seekor kuda, sebilah keris, dan pohon saparantu.
Kuda itu kemudian dibawa pulang oleh utusan Cianjur, Aria Natadimanggala, namun dengan satu keunikan: kuda tersebut tidak ditunggangi. Ia dikawal dan dihormati. Dalam budaya Jawa Barat, ini bukan kebetulan. Sang Aria ingin menunjukkan hormat kepada kakaknya, Dalem Cikundul, pemimpin tertinggi Cianjur saat itu. Sejak itulah, kuda tersebut dikenal sebagai "Kuda Kosong"—kosong secara fisik, tapi penuh makna.
Cerita bermula pada masa kekuasaan Kerajaan Mataram. Cianjur, yang kala itu masih berupa kabupaten muda, rutin mengirim upeti sebagai bentuk penghormatan: tiga biji cabai, tiga butir padi, dan tiga biji lada—simbol hasil bumi dan ketundukan. Namun, diplomasi tak selamanya bermakna tunduk. Kala hubungan menghangat, Mataram mengirim hadiah istimewa: seekor kuda, sebilah keris, dan pohon saparantu.
Kuda itu kemudian dibawa pulang oleh utusan Cianjur, Aria Natadimanggala, namun dengan satu keunikan: kuda tersebut tidak ditunggangi. Ia dikawal dan dihormati. Dalam budaya Jawa Barat, ini bukan kebetulan. Sang Aria ingin menunjukkan hormat kepada kakaknya, Dalem Cikundul, pemimpin tertinggi Cianjur saat itu. Sejak itulah, kuda tersebut dikenal sebagai "Kuda Kosong"—kosong secara fisik, tapi penuh makna.
Antara Mitos dan Realitas: Eyang Suryakencana
Seiring waktu, makna Kuda Kosong meluas. Masyarakat Cianjur percaya bahwa setiap kali kuda itu tampil dalam pawai budaya, ia tak benar-benar sendiri. Sosok gaib bernama Eyang Suryakencana dipercaya menungganginya secara spiritual.
Eyang Suryakencana adalah tokoh mistis yang diyakini menjaga kawasan Gunung Gede dan menjadi pelindung masyarakat Cianjur. Dalam beberapa versi cerita rakyat, kuda ini bahkan bisa mengamuk jika tidak diberi ritual penyambutan yang layak.
Seiring waktu, makna Kuda Kosong meluas. Masyarakat Cianjur percaya bahwa setiap kali kuda itu tampil dalam pawai budaya, ia tak benar-benar sendiri. Sosok gaib bernama Eyang Suryakencana dipercaya menungganginya secara spiritual.
Eyang Suryakencana adalah tokoh mistis yang diyakini menjaga kawasan Gunung Gede dan menjadi pelindung masyarakat Cianjur. Dalam beberapa versi cerita rakyat, kuda ini bahkan bisa mengamuk jika tidak diberi ritual penyambutan yang layak.
Tradisi yang Dihidupkan Kembali
Di era modern, Kuda Kosong tetap menjadi bagian penting dari kalender budaya Cianjur. Ia tampil setiap 17 Agustus dan 12 Juli—Hari Kemerdekaan dan Hari Jadi Cianjur.
Sebelum tampil di hadapan publik, Kuda Kosong menjalani prosesi yang sakral: dimandikan dengan air dari sumber mata air Cikundul, didoakan, ditawasulkan, dan diasapi dupa. Pakaian adat dikenakan, pengawal berpakaian tradisional menyertainya, gamelan dan bangkong reang mengiringi perjalanannya menyusuri jalanan kota.
Bagi warga Cianjur, ini bukan sekadar tontonan. Ini napak tilas sejarah. Ini penghormatan kepada leluhur. Ini semacam doa kolektif, bahwa Cianjur tetap dalam lindungan Sang Penunggang Tak Kasat Mata.
Di era modern, Kuda Kosong tetap menjadi bagian penting dari kalender budaya Cianjur. Ia tampil setiap 17 Agustus dan 12 Juli—Hari Kemerdekaan dan Hari Jadi Cianjur.
Sebelum tampil di hadapan publik, Kuda Kosong menjalani prosesi yang sakral: dimandikan dengan air dari sumber mata air Cikundul, didoakan, ditawasulkan, dan diasapi dupa. Pakaian adat dikenakan, pengawal berpakaian tradisional menyertainya, gamelan dan bangkong reang mengiringi perjalanannya menyusuri jalanan kota.
Bagi warga Cianjur, ini bukan sekadar tontonan. Ini napak tilas sejarah. Ini penghormatan kepada leluhur. Ini semacam doa kolektif, bahwa Cianjur tetap dalam lindungan Sang Penunggang Tak Kasat Mata.
Patung yang Hilang, Simbol yang Tak Pernah Lenyap
Pada tahun-tahun terakhir, patung Kuda Kosong sempat berdiri megah di kawasan Sukaluyu, di jalur utama Bandung–Cianjur. Sayangnya, pada awal 2024, patung itu roboh akibat kerusakan struktural. Banyak warga menyangka patung itu dicuri, sebagian lagi meyakini “sang penunggang” tidak berkenan.
Pemerintah pun angkat bicara: patung tidak hilang, tapi rusak dan sedang dalam proses evaluasi apakah akan dibangun kembali. Namun satu hal yang pasti, meski patungnya runtuh, nilai dan filosofi Kuda Kosong tetap berdiri tegak di hati masyarakat Cianjur.
Pada tahun-tahun terakhir, patung Kuda Kosong sempat berdiri megah di kawasan Sukaluyu, di jalur utama Bandung–Cianjur. Sayangnya, pada awal 2024, patung itu roboh akibat kerusakan struktural. Banyak warga menyangka patung itu dicuri, sebagian lagi meyakini “sang penunggang” tidak berkenan.
Pemerintah pun angkat bicara: patung tidak hilang, tapi rusak dan sedang dalam proses evaluasi apakah akan dibangun kembali. Namun satu hal yang pasti, meski patungnya runtuh, nilai dan filosofi Kuda Kosong tetap berdiri tegak di hati masyarakat Cianjur.
Filosofi Kuda Kosong: Kosong yang Penuh Makna
Apa yang bisa kita pelajari dari Kuda Kosong?
Ia mengajarkan kita tentang kerendahan hati, tentang diplomasi yang santun, dan tentang bagaimana warisan leluhur bisa menjadi kekuatan budaya. Ia adalah simbol bahwa dalam kehampaan, ada kekuatan spiritual yang tak terlihat. Dalam keheningan, ada penghormatan yang menggetarkan.
Tradisi ini tidak hanya perlu dipertahankan, tapi juga dikenalkan pada generasi muda. Karena ketika budaya ditinggalkan, maka lenyaplah satu identitas. Tapi selama Kuda Kosong masih berjalan, Cianjur akan tetap punya napas panjang dalam menjaga warisan yang tak ternilai.
Apa yang bisa kita pelajari dari Kuda Kosong?
Ia mengajarkan kita tentang kerendahan hati, tentang diplomasi yang santun, dan tentang bagaimana warisan leluhur bisa menjadi kekuatan budaya. Ia adalah simbol bahwa dalam kehampaan, ada kekuatan spiritual yang tak terlihat. Dalam keheningan, ada penghormatan yang menggetarkan.
Tradisi ini tidak hanya perlu dipertahankan, tapi juga dikenalkan pada generasi muda. Karena ketika budaya ditinggalkan, maka lenyaplah satu identitas. Tapi selama Kuda Kosong masih berjalan, Cianjur akan tetap punya napas panjang dalam menjaga warisan yang tak ternilai.
