Ratusan warga dari tiga desa di kaki Gunung Gede Pangrango—Sukatani, Cipendawa, dan Sindangjaya—melakukan aksi penolakan terhadap rencana pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (geotermal) yang akan digarap oleh PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP), anak perusahaan dari PT Sinar Mas.
Aksi penolakan ini terjadi pada Kamis (17/07/2025) di Kantor Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Cianjur, Jawa Barat. Warga memprotes keras surat undangan yang beredar sejak awal Juli 2025, yang meminta masyarakat menghadiri agenda pemutakhiran data lahan garapan. Dalam surat tersebut, jika penggarap tidak hadir tanpa alasan yang jelas, maka lahan dianggap kosong.
Agenda awal verifikasi yang dijadwalkan pada 15 Juli 2025 pun batal dilaksanakan setelah masyarakat menolaknya. Namun, sehari setelahnya, surat serupa kembali beredar kepada 79 warga, yang mencantumkan bahwa lahan seluas lebih dari lima hektare akan digunakan untuk “pemanfaatan panas bumi”. Surat tersebut ditandatangani langsung oleh Kepala Balai Besar TNGGP, dan tembusannya dikirimkan kepada Kapolda Jawa Barat, Bupati Cianjur, serta Komandan Korem 061/Suryakancana.
Salah satu warga yang terdampak, Cece Jaelani, mengatakan kepada BBC News Indonesia, “Kami seolah-olah didesak dan ditekan” untuk menyerahkan lahan garapan mereka.
Cece, seorang petani, telah dua kali dipanggil oleh pihak kepolisian karena sikapnya yang menolak proyek PLTP Cipanas. Pada September 2024, ia sempat diperkarakan menggunakan pasal penghasutan. Namun, kasus itu dihentikan. Belakangan, ia kembali dipanggil atas dugaan pelanggaran UU ITE, namun proses tersebut juga tidak berujung pada vonis karena, menurut Cece, “kasusnya dipantau Komnas HAM.”
Keterlibatan aparat dan tekanan tersebut tak membuat Cece gentar. Ia menegaskan bahwa proyek geotermal ini bisa membahayakan sumber daya air dan kelangsungan hidup masyarakat.
“Kalau ini, misalnya, jadi dilanjutkan, kami takut akan mengancam sumber daya air. Ketika itu hilang, masyarakat yang menanggung semua beban itu,” tuturnya.
“Kalau tata kelola di hulunya tidak benar, bagaimana dengan hilirnya?”
Cece mengungkapkan bahwa rencana pembangunan geotermal sudah tercium sejak November 2022, tepat saat Cianjur diguncang gempa besar. Saat itu, menurutnya, sejumlah orang dari luar desa berdalih tengah mengecek sesar Cugenang, padahal “faktanya, mereka lagi mencari titik panas bumi waktu itu,” tambahnya.
Sementara itu, pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, yang mendampingi warga, menyebut partisipasi publik dalam proyek ini sangat minim.
“Jadi, hanya mengundang beberapa, segelintir, perwakilan warga, dalam tanda kutip, begitu, di masing-masing desa. Kemudian sosialisasi,” terang advokat LBH Bandung.
“Nah, dan masyarakat yang lainnya itu pada enggak tahu. Kebanyakan seperti itu, secara diam-diam sosialisasinya.”
Aktivis dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Alfarhat Kasman, menilai proyek panas bumi ini sebagai bentuk kebijakan transisi energi yang tidak adil.
“Hampir di setiap praktik operasi panas bumi kebanyakan menyebabkan gempa bumi, begitu,” tegasnya.
“Karena kita tahu di kawasan Gede Pangrango ini rawan.”
Jatam menyebut bahwa proyek panas bumi ini justru memindahkan beban lingkungan ke masyarakat, bukan kepada negara atau korporasi. Menurut mereka, proyek yang dibalut jargon energi bersih ini hanyalah “tipu-tipu belaka”.
Pembangunan proyek panas bumi ini dilaksanakan oleh PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP), yang mendapat penugasan survei awal dari Kementerian Investasi/Kepala BKPM sejak Juni 2022. Kegiatan eksplorasi mencakup lebih dari 3.000 hektare, dengan investasi besar, termasuk survei geofisika 3D senilai Rp2,4 miliar.
Namun, hingga berita ini ditulis, pihak PT Dian Swastatika Sentosa (DSSA)—induk perusahaan DMGP—belum memberikan pernyataan resmi atas penolakan warga.
Warga menyatakan bahwa sejak awal mereka tidak mendapatkan informasi yang utuh. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pembangunan geotermal akan merusak sumber mata air, pertanian, hingga daerah aliran sungai (DAS).
“Ini pada faktanya lahan sayur-mayur yang begitu suburnya, bahkan bisa saya katakan apa yang kami dapatkan di sini bisa memasok kebutuhan masyarakat di Jakarta dan sekitarnya,” ujar Cece.
“Ketika musim kemarau pun, sumber mata air di sini tidak kering. Ini yang kami kelola dan yang kami takutkan hilang,” tambahnya.
Pemerintah sebelumnya menepis kekhawatiran tersebut. Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM, Harris, menyatakan bahwa eksplorasi geotermal tidak berkorelasi dengan aktivitas seismik dan tidak menyebabkan gempa.
Menurut Harris, panas bumi di Cipanas berpotensi menyuplai listrik untuk 61.000 kepala keluarga (KK) dan mendukung pengurangan emisi karbon serta peningkatan ekonomi.
Namun, Andi Daffa Patiroi, advokat dari LBH Bandung, mengingatkan bahwa proyek ini berisiko besar terhadap hak-hak masyarakat.
“Karena dia [geotermal] memerlukan lahan yang luas untuk pembangunan jalan maupun pengeboran itu sendiri,” ujarnya.
“Saat kita bicara peluang kehilangan ruang hidup, maka di situ sudah ada indikasi pembatasan terhadap hak-hak mendasar masyarakat.”
Hingga saat ini, pembangunan geotermal di kawasan Gede Pangrango masih dalam tahap persiapan. Namun, suara masyarakat yang menolak terus bergema, dengan harapan ruang hidup mereka tetap terlindungi dari eksploitasi atas nama energi bersih.