Gelombang demonstrasi yang melanda Indonesia dalam beberapa pekan terakhir kembali mengingatkan kita pada satu kenyataan pahit: demokrasi selalu berjalan di atas garis tipis antara aspirasi dan anarki.
Awalnya, ribuan orang turun ke jalan dengan satu niat: menyuarakan keadilan. Mereka marah pada kebijakan elitis, pada privilese parlemen yang semakin menganga di tengah rakyat yang mengencangkan ikat pinggang. Mereka berduka atas wafatnya Affan Kurniawan, seorang anak muda pencari nafkah, yang tewas tragis di bawah roda kendaraan taktis aparat. Namun, yang kemudian mencuat ke permukaan bukan hanya suara rakyat, melainkan juga amarah yang dibajak oleh kekerasan, penjarahan, dan provokasi.
Antara Aspirasi Murni dan Tangan Gelap
Dalam setiap gelombang protes, selalu ada perbedaan wajah. Ada wajah-wajah tulus: mahasiswa, buruh, ojek daring, pedagang kecil—mereka hadir dengan idealisme dan tuntutan keadilan. Namun, ada pula wajah gelap: provokator yang menyusup, menyalakan api, melempar batu, dan mengubah damai menjadi ricuh.
Pertanyaan yang harus kita ajukan adalah: apakah kerusuhan ini murni lahir dari rakyat, ataukah ada tangan-tangan yang sengaja mengail di air keruh?
Sejarah Indonesia mencatat, hampir setiap aksi besar selalu diikuti narasi provokasi—entah oleh kelompok kepentingan, entah oleh kekuatan politik, atau sekadar kriminal oportunis yang memanfaatkan kekacauan untuk meraup keuntungan.
Luka yang Menyasar Rakyat Kecil
Ironisnya, korban terbesar justru rakyat kecil. Ketika gedung DPRD dibakar, ketika toko-toko dijarah, siapa yang paling menderita? Bukan pejabat, bukan elit politik—melainkan staf kecil, pegawai harian, pedagang kaki lima, pemilik warung sembako, hingga pemilik kios kecil di pasar.
Apa yang diperjuangkan atas nama keadilan justru melahirkan ketidakadilan baru. Tuntutan untuk menghapus privilese elit berubah menjadi luka baru bagi masyarakat yang bahkan tidak punya privilese apa-apa.
Provokator: Mitos atau Kenyataan?
Narasi provokator selalu dilematis. Di satu sisi, aparat menuding kerusuhan dipicu kelompok penyusup. Di sisi lain, publik skeptis: apakah ini fakta atau sekadar cara aparat untuk mengalihkan kesalahan? Namun yang jelas, rekaman visual di lapangan menunjukkan bahwa massa berwajah ganda memang ada: sebagian berdiri tegak membawa poster, sebagian lain berlarian dengan batu dan bom molotov di tangan.
Maka, mungkin lebih tepat kita bertanya: bukan apakah provokator itu nyata, tetapi mengapa selalu ada ruang bagi provokator untuk masuk? Jawabannya sederhana: karena ruang demokrasi kita rapuh, karena ketidakpercayaan publik pada institusi begitu dalam, karena kanal aspirasi formal tersumbat.
Demokrasi di Persimpangan
Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Jika demonstrasi dibiarkan terjebak dalam pusaran kekerasan, maka yang runtuh bukan hanya gedung-gedung parlemen, tetapi juga kepercayaan terhadap demokrasi itu sendiri. Namun jika suara rakyat terus diabaikan, maka bara kemarahan akan terus membesar, menunggu momen untuk meledak lagi.
Demokrasi bukan sekadar kebebasan turun ke jalan, melainkan juga kemampuan negara untuk mendengar sebelum rakyat berteriak. Dan tugas rakyat bukan sekadar marah, melainkan memastikan amarah tidak berubah menjadi bencana.
Menutup Luka, Menata Ulang Jalan
Aksi demo ini, seberapapun kelam, adalah cermin. Cermin bahwa ada jurang antara penguasa dan rakyat. Cermin bahwa elit kita masih gagap membaca penderitaan warganya. Cermin bahwa demokrasi kita belum matang, masih mudah disusupi oleh kekerasan.
Kita tidak boleh menormalisasi penjarahan dan perusakan. Itu bukan aspirasi, itu kriminalitas. Namun kita juga tidak boleh menormalisasi arogansi kekuasaan dan kealpaan elit. Itu pengkhianatan pada demokrasi.
Jalan keluarnya hanya satu: rekonsiliasi kepercayaan. Pemerintah harus menegakkan hukum tanpa pandang bulu, mengusut kematian Affan, mengadili provokator, sekaligus berani mengoreksi kebijakan elitis yang menjadi akar amarah. Rakyat, di sisi lain, harus mengawal aspirasinya dengan cara yang bermartabat, agar suara keadilan tidak teredam oleh suara pecahan kaca.
Demokrasi adalah jalan sunyi. Tidak selalu megah, tidak selalu damai, tapi selalu menuntut keberanian untuk tetap waras di tengah gejolak.