-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Jangan Mengambil Alih Tugas Malaikat

Kamis, 04 September 2025 | 22.34 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-04T16:13:32Z


Renungan Sunda tentang eling, waspada, dan adab menilai

Manusia sering tergoda menjadi “hakim”—menimbang amal orang lain, mengorek aib, bahkan membubuhkan vonis. Padahal, dalam keyakinan kita, tugas menulis amal baik dan buruk telah diemban malaikat. Porsi manusia bukan mengisi buku catatan surga, melainkan mengelola diri agar tetap pada jalan yang benar. Filosofi Sunda mengajarkan hal yang sederhana namun tajam: eling (ingat kepada Tuhan dan batas diri) dan waspada (mawas diri sebelum bertindak). Dua kata ini adalah pagar agar kita teu nyasab—tidak tersesat—menjadi penilai hidup orang lain.

Pagar Batas: Urusan Malaikat dan Urusan Manusia

Dalam tradisi, ada malaikat yang mencatat kebajikan dan yang mencatat kesalahan. Itu bukan mandat kita. Yang menjadi tugas manusia adalah:

1. Muhasabah—mengkaji ulang niat dan jejak langkah diri.
2. Memperbaiki akhlak—membenahi tutur, sikap, dan laku.
3. Menebar manfaat—kebaikan yang terasa oleh sekitar.

Orang Sunda sering mengingatkan, “Ulah pagiri-giri, ulah pagorowok, ulah pagugu ka diri sorangan.” Jangan membanggakan diri, jangan gaduh, jangan merasa paling benar. Begitu kita sibuk menilai orang lain, jiwa menjadi bising dan tak sempat mendengar suara hati.

Kearifan Sunda: Menata Hati Sebelum Menata Dunia

Filosofi Sunda memandang manusia sebagai makhluk yang mesti harmonis—dengan Gusti, sesama, dan jagat. Ada beberapa pilar yang relevan:

Silih asah, silih asih, silih asuh
Saling menajamkan (asah), saling mengasihi (asih), saling memelihara (asuh). Mengasah bukan mengiris, menegur bukan merendahkan.

Cageur, bageur, bener, pinter, singer
Sehat jasmani-rohani (cageur), berperilaku baik (bageur), lurus dan adil (bener), cerdas (pinter), sigap-solutif (singer). Menjadi “bener” tak sama dengan jadi “benar sendiri”.

Someah hade ka semah
Ramah kepada tamu—di era digital, yang “bertamu” ke ruang kita adalah siapa pun yang berjumpa di linimasa. Keramahan tetap berlaku, meski berbeda pandangan.

Tata-titi duduga peryoga
Tertib, cermat, pertimbangkan pantas-tidaknya sebelum bicara. Ini rem batin agar tidak lancang menghakimi.


Semuanya bermuara pada satu napas: ngaweningan—menjernihkan hati. Hati yang jernih tak mudah sibuk menulis dosa orang lain.

Kenapa Kita Tergoda Jadi “Hakim”?

Ada beberapa jebakan batin yang kerap menyeret kita:

  • Hasrat unggul: Kita ingin tampak lebih suci dengan menunjuk salah orang lain. Padahal itu hanya ilusi kebesaran diri.
  • Pelarian dari muhasabah: Lebih mudah menilai luar daripada menata dalam.
  • Bisingnya ruang digital: Viralnya aib membuat kita lupa bahwa di balik layar ada manusia yang rapuh.

Orang tua-tua Sunda mengingatkan, “Ulah ngukur baju batur ku awak sorangan.” Jangan menakar orang lain dengan ukuran diri sendiri. Setiap orang punya medan tempur batin yang tak kita ketahui.

Menegur Tanpa Menghakimi: Adab Sunda dalam Praktik

Ada kalanya kita perlu menegur—demi kebaikan bersama. Namun, bedakan teguran dengan vonis.

1. Niatkan rahmah, bukan amarah.
Tanyakan: “Apakah ini untuk memperbaiki, atau hanya melampiaskan emosi?”
 
2. Pilih cara yang menyejukkan.

“Ngomong ulah sakadarna, kudu sakaleresan.” Bukan sekadar bisa bicara, tetapi bicara yang benar—lembut, jelas, dan bertanggung jawab.

3. Utamakan empat mata jika memungkinkan.
Menutup aib adalah bagian dari menjaga martabat (ngajaga wibawa). Publikasi aib sering lebih melukai daripada mendidik.

4. Spesifik pada perbuatan, bukan menyerang pribadi.
Kritik laku, bukan label orang. “Perilaku ini bermasalah karena…,” bukan “kamu memang jahat.”

5. Sertakan jalan pulang.
Teguran yang baik memberi alternatif dan harapan. Di Sunda, teguran idealnya “ngarojong sangkan jadi hadé”—mendorong agar jadi lebih baik.

Etika di Ruang Digital (Medsos)

Ruang digital adalah pasar raya pendapat. Agar tidak “mengambil alih tugas malaikat” di sana, pegang beberapa prinsip:

  • Verifikasi sebelum berbagi. “Ulah gampil ngabeberkeun aib.” Pastikan data valid, niatnya maslahat, dan dampaknya tidak merusak.
  • Batasi vonis, perluas empati. Ingat, cuplikan video 30 detik tidak pernah mewakili seluruh hidup seseorang.
  • Tahan jempol saat marah. Tunda 10–30 menit. Baca ulang. Bila masih menyengat, jangan kirim.
  • Pilih diksi yang merawat martabat. Ramah bukan berarti kabur; tegas bisa tetap santun.
  • Ingat anak-cucu digital. Jejak hari ini adalah guru—atau batu sandungan—bagi generasi esok.

Latihan Harian: Mengembalikan Pena ke Tangan Malaikat

Agar fokus kembali pada diri, cobalah kebiasaan kecil ini:

1. Tiga catatan syukur & satu perbaikan setiap malam. Tulis tiga hal yang patut disyukuri dan satu laku yang akan dibenahi esok hari.
2. Puasa komentar: ambil hari tertentu tanpa komentar menghakimi di medsos. Ganti dengan pertanyaan yang membuka ruang dialog: “Boleh cerita lebih lengkap?
3. Doa pendek saat “gatal” menilai: “Gusti, jaga lisan, beningkeun ati, perbaiki langkah abdi.”
4. Tata niat sebelum unggah: tanya diri, “Unggahan ini mendidik, menghibur, atau hanya memancing amarah?”
5. Cari satu kebaikan orang lain setiap hari dan ucapkan. Ini melatih mata untuk melihat cahaya, bukan hanya bayang-bayang.

Penutup: Menjadi Benar Tanpa Merasa Paling Benar

Pada akhirnya, keadilan Tuhan tidak memerlukan juru tulis tambahan. Kita bernafas untuk memperbaiki diri, bukan menulis dosa orang lain. Orang Sunda merangkum kebijaksanaan ini dalam napas yang halus: “silih asih, silih asah, silih asuh.” Bila kita mampu menjalankannya, maka urusan malaikat biarlah tetap di tangan malaikat, dan urusan kita adalah menjaga hati agar tetap eling-waspada—tenang, jernih, dan setia pada kebaikan.

Ngaweningan: “Benahi batin, rapihkan laku, sing jadi jalma anu bageur, bener, pinter, singer—tapi moal kungsi ngahakiman. Sabab anu nyerat amal mah lain urang.”
×
Berita Terbaru Update