![]() |
Foto: Ilustrasi |
Gelombang Kasus yang Mengkhawatirkan
Data terbaru menunjukkan, hingga September 2025 tercatat sedikitnya 5.080 korban dalam 46 kasus keracunan massal yang diduga bersumber dari konsumsi makanan MBG (Tempo). Kasus terbesar terjadi di Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, di mana lebih dari 600 siswa mengalami gejala mual, muntah, dan pusing setelah menyantap menu MBG. Puluhan di antaranya harus dirawat inap di puskesmas maupun rumah sakit setempat.
Tak hanya di Jawa Barat, di Jakarta pun kasus serupa muncul. Tujuh siswa SMAN 15 Jakarta dilaporkan mengalami gejala keracunan setelah mengonsumsi makanan MBG pada Rabu (24/9). “Gejala yang dialami anak-anak berupa mual, muntah, dan diare. Saat ini mereka sudah mendapatkan penanganan medis,” kata Kepala Sekolah SMAN 15 Jakarta, Sudaryono, saat dikonfirmasi wartawan.
Kasus-kasus tersebut memperlihatkan pola yang konsisten: menu MBG hadir dengan niat baik, tetapi pada praktiknya tidak jarang berakhir menjadi bencana kesehatan bagi para pelajar.
Suara dari Lapangan
Di balik angka-angka, keresahan orang tua siswa semakin nyaring terdengar. Ibu Nurhasanah, salah satu wali murid di Cipongkor, tak kuasa menahan kekhawatiran.
“Awalnya kami senang ada program makan gratis, apalagi membantu anak-anak yang sering berangkat sekolah tanpa sarapan. Tapi kalau sampai sakit begini, siapa yang tanggung jawab? Kami takut anak-anak jadi korban terus,” ujarnya dengan nada getir.
Sementara itu, tenaga medis yang menangani korban keracunan MBG mengaku kewalahan. dr. Yudi Setiawan, Kepala Puskesmas Cipongkor, menyebut jumlah pasien melonjak drastis dalam hitungan jam.
“Korban datang bergelombang. Gejala umumnya mual, muntah, pusing, dan ada juga yang sesak napas. Kami langsung berkoordinasi dengan rumah sakit rujukan karena kapasitas puskesmas penuh,” jelasnya.
Rantai Masalah yang Kompleks
Dugaan penyebab keracunan MBG beragam, mulai dari pengolahan makanan yang tidak higienis, rantai distribusi yang panjang, hingga kualitas bahan makanan yang tidak terjaga.
Sistem pelaksanaan MBG biasanya melibatkan dapur umum yang memasak dalam jumlah besar, lalu makanan dikirim ke sekolah-sekolah. Proses ini rawan menimbulkan masalah, terutama jika jarak distribusi jauh dan fasilitas penyimpanan tidak memadai.
Ahli gizi Universitas Padjadjaran, Dr. Rina Wulandari, menegaskan bahwa makanan massal seperti MBG memerlukan standar ketat.
“Dalam sistem penyediaan makanan bergizi, harus ada standar HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) yang diterapkan. Kalau tidak, risiko kontaminasi bakteri dan mikroba sangat besar,” ujarnya.
Dugaan penyebab keracunan MBG beragam, mulai dari pengolahan makanan yang tidak higienis, rantai distribusi yang panjang, hingga kualitas bahan makanan yang tidak terjaga.
Sistem pelaksanaan MBG biasanya melibatkan dapur umum yang memasak dalam jumlah besar, lalu makanan dikirim ke sekolah-sekolah. Proses ini rawan menimbulkan masalah, terutama jika jarak distribusi jauh dan fasilitas penyimpanan tidak memadai.
Ahli gizi Universitas Padjadjaran, Dr. Rina Wulandari, menegaskan bahwa makanan massal seperti MBG memerlukan standar ketat.
“Dalam sistem penyediaan makanan bergizi, harus ada standar HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) yang diterapkan. Kalau tidak, risiko kontaminasi bakteri dan mikroba sangat besar,” ujarnya.
Dilema Kebijakan
Program MBG sejatinya lahir dari semangat mulia: memastikan seluruh anak Indonesia, khususnya dari keluarga kurang mampu, bisa mengakses makanan bergizi. Namun, berulangnya kasus keracunan membuat publik mempertanyakan kesiapan pemerintah.
Di satu sisi, penghentian program dianggap akan merugikan siswa miskin yang sangat terbantu dengan adanya MBG. Di sisi lain, melanjutkan program tanpa perbaikan bisa berisiko membahayakan kesehatan anak-anak.
Anggota Komisi IX DPR RI, Ahmad Fadli, menilai pemerintah perlu mengevaluasi menyeluruh.
“Kita tidak bisa menutup mata. Program ini baik, tapi pelaksanaannya harus diperbaiki. Jangan sampai anak-anak jadi korban karena kelalaian penyedia atau lemahnya pengawasan,” tegasnya.
Jalan Panjang Perbaikan
Sejumlah solusi kini mengemuka. Pemerintah daerah mulai mengusulkan agar dapur penyedia MBG wajib bersertifikat higienis, distribusi makanan menggunakan rantai dingin (cold chain), dan pengawasan dilakukan secara real time melalui aplikasi.
Selain itu, keterlibatan ahli gizi dan kesehatan di setiap daerah dinilai sangat penting agar menu MBG tidak hanya bergizi di atas kertas, tetapi juga aman dikonsumsi.
Namun, semua solusi itu membutuhkan komitmen anggaran, pengawasan, dan transparansi yang kuat. Tanpa itu, potensi krisis serupa bisa kembali terjadi.
Antara Harapan dan Kekhawatiran
Bagi banyak orang tua, MBG masih menyimpan harapan besar. Anak-anak yang sebelumnya kerap berangkat sekolah tanpa sarapan kini bisa mendapat asupan gizi. Tapi dengan bayang-bayang keracunan massal, program ini justru menjadi dilema.
Di satu sisi, MBG adalah simbol janji pemerintah untuk menyehatkan bangsa. Di sisi lain, ia juga bisa menjadi catatan kelam bila gagal menjamin keselamatan penerimanya.
Pada akhirnya, keberlanjutan program MBG akan sangat ditentukan oleh keseriusan pemerintah dalam menutup celah persoalan yang ada: dari hulu (penyediaan bahan), proses produksi, distribusi, hingga pengawasan di lapangan.
Selama perbaikan belum benar-benar menyentuh akar masalah, pertanyaan itu akan terus menggantung:
Apakah Makan Bergizi Gratis akan tetap jadi solusi, atau malah jadi masalah baru bagi generasi penerus bangsa?