![]() |
| Foto: Ilustrasi |
Suatu malam di penghujung Oktober, warga Kampung Bojongkaler, Kecamatan Cikembar, Sukabumi, dikejutkan oleh kabar memilukan. Seorang siswi MTsN 3 Cikembar, sebut saja Ajeng (14), ditemukan tak bernyawa di rumahnya. Di sampingnya, sebuah surat tulisan tangan menjadi saksi bisu betapa rapuhnya hati seorang anak yang merasa sendirian di tengah dunia yang seharusnya menjadi tempatnya tumbuh.
Dalam surat itu, Ajeng menulis kalimat sederhana namun menyayat:
“Ajeng lain teu bisa maafin, tapi Ajeng capek, Ajeng sok disindir, diledek, dijauhin. Ajeng hayang tenang…”
Sebuah ungkapan yang seharusnya membuat kita semua berhenti sejenak — merenung, bukan sekadar bersedih.
Bullying: Luka yang Tak Selalu Tampak
Sering kali kita memandang bullying sebagai hal sepele. “Ah, cuma bercanda,” begitu alasan yang sering terdengar. Tapi bagi sebagian anak, candaan itu adalah pisau tumpul yang perlahan mengikis rasa percaya dirinya. Tidak semua anak punya daya tahan mental yang sama. Tidak semua tawa berarti bahagia.
Ajeng hanyalah satu nama dari sekian banyak korban yang memilih diam, bahkan hingga akhir hidupnya. Kita terlalu sibuk mengajarkan anak untuk pintar, tapi sering lupa mengajarkan mereka untuk berempati.
Sekolah dan Rumah: Dua Dunia yang Seharusnya Melindungi
Sekolah adalah tempat belajar, bukan arena bertahan hidup. Namun, realitas sering berkata lain. Di banyak sekolah, ada anak-anak yang tiap pagi datang dengan wajah tersenyum, tapi menyimpan perih di dadanya karena takut diejek atau dikucilkan.
Di sisi lain, rumah tempat yang seharusnya menjadi pelabuhan teraman, kadang terlalu sibuk dengan rutinitas. Orang tua tak selalu tahu bahwa anaknya sedang berperang dengan rasa sakit yang tak terlihat.
Kita butuh guru yang bukan hanya mengajar, tapi juga mendengar. Kita butuh orang tua yang bukan hanya menafkahi, tapi juga memahami.
Waktunya Kita Berubah
Tragedi ini bukan hanya soal seorang siswi yang pergi terlalu cepat, tapi juga soal sistem sosial yang gagal mengenali jeritan halus anak-anak kita. Kita tidak bisa terus menunggu kasus serupa muncul untuk mulai peduli.
Sekolah harus memperkuat sistem pengawasan dan konseling. Guru perlu lebih dekat dengan siswanya bukan sekadar soal nilai, tapi soal perasaan. Orang tua perlu lebih peka terhadap perubahan sikap anak. Dan masyarakat perlu berhenti menganggap ejekan sebagai hiburan.
Satu Kata Bisa Menyelamatkan
Satu kata bisa menyembuhkan, satu ejekan bisa menghancurkan. Mari mulai dari hal kecil — saling menghormati, saling menguatkan, dan saling menjaga. Karena di balik setiap senyum anak, ada jiwa yang butuh rasa aman untuk tumbuh.
Untuk Ajeng, semoga tenang di sisi-Nya.
Untuk kita semua, semoga belajar dari kepergianmu.
Redaksi Teras Muda Cianjur mengajak semua pihak untuk bersama menciptakan lingkungan belajar yang aman, penuh kasih, dan bebas dari perundungan.
.jpg)