-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Ulah Pagiri-Giri Calik, Pagirang-Girang Tampian: Refleksi Filosofis Tentang Kekuasaan dan Kehidupan Dunia

Senin, 20 Oktober 2025 | 14.14 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-20T07:14:28Z



Pepatah Sunda Ulah pagiri-giri calik, pagirang-girang tampian memiliki makna yang dalam dan relevan hingga saat ini. Secara harfiah, pepatah ini mengingatkan seseorang untuk tidak terlalu rakus atau ambisius dalam mengejar posisi, kekuasaan, atau kekayaan di dunia, karena semua itu bersifat sementara. Dalam bahasa Indonesia, kira-kira artinya: “Jangan terlalu berebut untuk duduk (memperoleh posisi), jangan terlalu memanjangkan tangan untuk mengambil tampian (memperebutkan hak dan harta)”.

Namun, jika kita menelaah lebih jauh, pepatah ini tidak hanya sekadar nasihat moral. Ia memuat pandangan filosofis tentang kehidupan manusia, kekuasaan, dan tujuan hidup yang lebih luhur.
 
1. Kekuasaan Dunia Hanya Sementara

Pepatah ini mengingatkan bahwa kekuasaan, jabatan, dan harta adalah bagian dari dunia yang fana. Dalam filsafat kehidupan, segala sesuatu yang bersifat duniawi selalu berubah. Tidak ada kekuasaan yang abadi, tidak ada harta yang selamanya aman. Seorang pemimpin bisa naik ke puncak kekuasaan, namun sewaktu-waktu bisa turun, tergeser, atau hilang.

Dalam perspektif Islam, hal ini sejalan dengan konsep dunya sebagai tempat ujian. Kekuasaan dan harta adalah amanah yang harus digunakan untuk kebaikan, bukan sebagai sarana keserakahan atau dominasi. Rasulullah SAW bersabda bahwa dunia itu bagaikan bayangan, cepat berubah dan tak kekal. Filosofi Sunda menekankan hal yang sama: jangan terperangkap oleh godaan dunia, karena hakikat hidup bukanlah kekuasaan, melainkan kebaikan dan ketakwaan.
 
2. Keserakahan Sebagai Musuh Kemanusiaan

Kata pagiri-giri dan pagirang-girang dalam pepatah ini merujuk pada keserakahan dalam memperoleh sesuatu. Dalam konteks manusia, keserakahan mendorong perselisihan, konflik, dan ketidakadilan. Seorang pemimpin yang rakus akan mengorbankan rakyat demi keuntungan pribadi. Filosofi ini mengajarkan bahwa keserakahan bukan hanya merugikan diri sendiri, tapi juga lingkungan sosial dan moral masyarakat.

Dari perspektif psikologi, ambisi yang berlebihan sering kali menimbulkan ketidakpuasan dan kecemasan. Manusia yang selalu “pagiri-giri calik” atau “pagirang-girang tampian” tidak pernah merasa cukup, meski telah mencapai puncak. Hidup menjadi penuh stres, dan hakikat kebahagiaan yang sejati terlewatkan.
 
3. Hidup Sebagai Perjalanan, Bukan Perlombaan Kekuasaan

Pepatah ini juga mengajarkan tentang konsep keseimbangan hidup. Hidup bukan sekadar perlombaan untuk duduk di posisi tinggi atau memiliki harta sebanyak mungkin. Filosofi Sunda menekankan kehidupan sebagai perjalanan untuk mencapai harmoni: harmoni dengan diri sendiri, dengan masyarakat, dan dengan Sang Pencipta.

Dalam filsafat Timur dan Sunda, kebahagiaan sejati datang dari tata krama, kesederhanaan, dan kebajikan. Memperjuangkan kebaikan bersama lebih penting daripada mengejar kedudukan atau kekayaan pribadi. Oleh karena itu, pepatah ini mendorong manusia untuk mengutamakan nilai moral, integritas, dan rasa empati.
 
4. Refleksi Spiritual: Mengingat Akhirat

Secara spiritual, pepatah ini mendorong manusia untuk selalu mengingat akhirat. Kekuasaan duniawi hanyalah sementara, sedangkan amal baik akan menjadi bekal abadi. Filosofi Sunda, yang sarat dengan nilai-nilai spiritual, menekankan bahwa keserakahan terhadap dunia akan menutupi tujuan hidup yang sebenarnya: mencapai kebahagiaan yang hakiki melalui perbuatan yang bermanfaat dan meninggalkan jejak kebaikan.

Dalam konteks ini, pepatah ini bisa dijadikan pengingat bagi para pemimpin dan masyarakat: berkuasalah dengan bijak, gunakan kekayaan untuk kebaikan, dan jangan biarkan keserakahan mengaburkan hati.
 
5. Penerapan dalam Kehidupan Modern

Di era modern, pepatah ini relevan bagi siapa saja yang terjebak dalam kompetisi dunia: politik, bisnis, bahkan media sosial. Terlalu fokus mengejar popularitas, posisi, atau kekayaan dapat mengikis nilai-nilai kemanusiaan dan spiritual.

Praktik sederhana dari pepatah ini bisa berupa:

  • Mengutamakan kejujuran daripada popularitas.
  • Membagikan kekayaan untuk kebaikan bersama, bukan hanya untuk kepuasan pribadi.
  • Menjaga keseimbangan antara pekerjaan, keluarga, dan ibadah.
  • Mengingat bahwa setiap posisi yang didapat adalah amanah yang harus dijalankan dengan bijaksana.

Ulah pagiri-giri calik, pagirang-girang tampian” adalah pepatah Sunda yang sarat makna filosofis. Ia mengajarkan bahwa hidup bukan tentang keserakahan dan perebutan dunia, melainkan tentang keseimbangan, kebaikan, dan kesadaran akan sementara-nya kehidupan dunia. Filosofi ini mengajak manusia untuk hidup sederhana, bijaksana, dan selalu mengingat nilai-nilai spiritual.

Dengan merenungkan pepatah ini, kita dapat menemukan kedamaian dalam hati, kebijaksanaan dalam bertindak, dan tujuan hidup yang lebih tinggi daripada sekadar mengejar kekuasaan atau harta benda.
×
Berita Terbaru Update