-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Tan Malaka: Pahlawan yang Terlupakan, Pemikir Revolusioner di Balik Lahirnya Republik

Selasa, 04 November 2025 | 09.41 WIB | 0 Views Last Updated 2025-11-05T00:16:13Z



Nama Tan Malaka mungkin tidak sepopuler Soekarno atau Hatta dalam buku-buku sejarah sekolah. Namun, di balik perjuangan panjang menuju kemerdekaan Indonesia, ia adalah sosok yang sangat berperan dalam membentuk arah pemikiran bangsa.

Lahir sebagai Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka pada 2 Juni 1897 di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, ia dikenal sebagai seorang guru, aktivis, intelektual, dan revolusioner sejati.

Dalam perjalanan hidupnya, Tan Malaka bukan hanya berjuang melawan penjajahan Belanda secara fisik, tetapi juga berjuang melawan kebodohan dan penindasan pikiran. Ia mengajarkan bahwa kemerdekaan sejati hanya bisa diraih lewat pendidikan, logika, dan kesadaran rakyat.

Masa Kecil dan Pendidikan Awal

Tan Malaka tumbuh di lingkungan keluarga Minangkabau yang religius dan memegang kuat adat serta pendidikan. Ayahnya, Rasad Caniago, dan ibunya, Sinah Simabur, menanamkan nilai-nilai keislaman sejak dini.

Setelah belajar di sekolah rakyat di kampungnya, ia diterima di Kweekschool Bukittinggi, sekolah guru pribumi yang bergengsi saat itu. Kecerdasannya menarik perhatian guru Belanda bernama G.H. Horensma, yang kemudian membantunya mendapatkan beasiswa ke Rijkskweekschool Haarlem, Belanda.

Langkah itu menjadi awal perjumpaannya dengan dunia pemikiran Eropa yang rasional dan penuh perdebatan ideologis. Di sinilah Tan Malaka mulai membaca karya-karya Karl Marx, Engels, dan Lenin—tokoh yang kelak memengaruhi pandangannya tentang perjuangan kelas dan kemerdekaan.

Perjalanan di Belanda: Lahirnya Kesadaran Revolusioner

Saat berada di Belanda, Tan Malaka aktif bergaul dengan kalangan buruh dan organisasi kiri. Ia melihat langsung ketimpangan sosial dan ekonomi yang terjadi di negeri yang selama ini dianggap “beradab”.

Ia mulai menyadari bahwa kolonialisme adalah bentuk lain dari perbudakan modern. Maka, perjuangan untuk merdeka bagi Indonesia bukan hanya soal politik, tetapi juga soal pencerahan rakyat. Ia percaya: tanpa pendidikan dan kesadaran berpikir, kemerdekaan hanyalah ilusi.

Tan menulis banyak gagasan dalam bentuk pamflet dan artikel. Ia juga berinteraksi dengan tokoh-tokoh muda Hindia lainnya seperti Semaun dan Darsono yang kelak memimpin Partai Komunis Indonesia (PKI).

Kembali ke Tanah Air: Dari Guru Menjadi Pejuang

Sekembalinya ke Indonesia sekitar tahun 1919, Tan Malaka bekerja sebagai guru di Deli, Sumatera Timur. Ia mendirikan sekolah bagi anak-anak pekerja perkebunan yang hidup dalam kemiskinan.

Namun, semangat pendidikannya dianggap mengancam penguasa kolonial. Ia kemudian pindah ke Semarang dan bergabung dengan Sarekat Islam serta menjadi salah satu tokoh penting di PKI.

Dalam Kongres PKI tahun 1921, Tan Malaka terpilih sebagai Ketua Umum menggantikan Semaun. Dari sinilah ia mulai dikenal sebagai pemimpin muda yang cerdas dan berani. Ia menolak aksi kekerasan membabi buta, dan lebih percaya pada kekuatan pendidikan dan organisasi rakyat.

Pengasingan dan Perjuangan Internasional

Akibat aktivitas politiknya yang dianggap berbahaya, Tan Malaka diasingkan oleh Belanda pada tahun 1922 ke Belanda, lalu ke berbagai negara lain seperti Jerman, Tiongkok, Filipina, dan Thailand.

Namun pengasingan itu tidak menghentikannya. Justru dalam pelarian, ia membangun jaringan internasional dan aktif di Komunis Internasional (Komintern), organisasi yang memperjuangkan solidaritas antarbangsa tertindas.

Pada tahun 1927, ia mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Manila. Ia memperkenalkan slogan “Merdeka 100 Persen”, sebagai bentuk penegasan bahwa Indonesia harus benar-benar bebas, bukan setengah-setengah di bawah pengaruh asing.

Karya dan Pemikiran Besar: Madilog dan Gerpolek

Dalam masa perjuangan bawah tanah, Tan Malaka menulis karya monumental berjudul “Madilog” (Materialisme, Dialektika, Logika) pada tahun 1943 di Sumatera Barat.
Buku ini merupakan seruan agar bangsa Indonesia meninggalkan cara berpikir mistis dan takhayul, lalu beralih ke cara berpikir rasional, ilmiah, dan logis.

Ia menulis:

“Bangsa yang ingin hidup merdeka harus berpikir dengan otaknya sendiri, bukan meniru buta, bukan pula mempercayai nasib semata.”

Selain Madilog, ia juga menulis buku “Gerpolek” (Gerilya, Politik, Ekonomi) yang menekankan bahwa perjuangan fisik harus diiringi perjuangan ekonomi dan politik rakyat.

Karya lainnya seperti “Menuju Republik Indonesia” (Naar de Republiek Indonesia) bahkan telah menggambarkan bentuk ideal republik jauh sebelum Proklamasi 1945. Karena itulah banyak sejarawan menyebut Tan Malaka sebagai “Bapak Republik Indonesia”.

Akhir Hayat: Tertembak di Negeri Sendiri

Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Tan Malaka kembali aktif berjuang dalam revolusi. Namun karena perbedaan pandangan politik, ia sering berbenturan dengan kelompok lain, bahkan dengan pemerintahan republik yang baru berdiri.

Pada 21 Februari 1949, Tan Malaka ditangkap dan ditembak mati oleh pasukan republik di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur — tanpa pengadilan.

Ironisnya, pahlawan yang berjuang seumur hidup demi kemerdekaan Indonesia justru gugur di tangan bangsanya sendiri.

Jenazahnya dikubur secara sederhana di desa itu. Baru pada tahun 1963, Presiden Soekarno secara resmi menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1963.

Warisan Pemikiran dan Relevansi Hari Ini

Pemikiran Tan Malaka tetap hidup dan relevan hingga hari ini. Ia mengajarkan bahwa kemerdekaan sejati dimulai dari pikiran yang merdeka.

Ia menolak fanatisme buta, dan menekankan pentingnya ilmu pengetahuan, keadilan sosial, dan kesetaraan.

Warisan terbesarnya bukan hanya dalam bentuk tulisan, tetapi juga dalam semangatnya: bahwa setiap rakyat kecil punya hak untuk berpikir, berjuang, dan menentukan nasibnya sendiri.

Di tengah zaman yang serba cepat dan digital ini, pesan Tan Malaka terasa semakin bermakna:

“Kita tidak akan bisa merdeka tanpa berpikir merdeka.”

Penutup

Tan Malaka bukan sekadar tokoh politik, ia adalah guru bangsa yang memperjuangkan kebebasan pikiran dan keadilan sosial.

Meski jasadnya hilang ditelan sejarah, ide-idenya tetap menjadi lentera bagi bangsa yang ingin terus belajar menjadi dewasa dalam berpikir.

Tan Malaka — Pahlawan yang gugur tanpa tanda jasa, tapi meninggalkan jejak abadi dalam perjalanan akal dan nurani bangsa.
×
Berita Terbaru Update