-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Zalim dan Memutus Silaturahmi: Dosa yang Dibalas Cepat di Dunia

Senin, 26 Mei 2025 | 23.59 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-27T17:47:59Z


Dalam dunia yang kian gaduh dengan narasi kebencian, perpecahan, dan saling menjatuhkan, kita perlu kembali merenungi sabda Nabi Muhammad SAW yang mengguncang kesadaran sosial kita:

“Tidak ada dosa yang lebih pantas disegerakan balasannya bagi para pelakunya di dunia - bersama dosa yang disimpan untuknya di akhirat - daripada perbuatan zalim dan memutus silaturahmi.”
(HR Abu Daud)

Hadis ini bukan sekadar peringatan teologis, tapi juga sebuah refleksi tajam tentang dua dosa yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan manusia: kezaliman dan terputusnya jalinan kasih antar sesama. Keduanya bukan hanya menimbulkan efek jangka panjang di akhirat, tapi juga memberikan konsekuensi langsung di dunia, bahkan sebelum ajal menjemput.
 
Kezaliman: Ibu dari Kerusakan Sosial

Zalim, secara bahasa berarti “meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya.” Dalam konteks sosial, ia bisa bermakna menindas, mencuri hak orang lain, memfitnah, atau menyalahgunakan kekuasaan. Ini adalah bentuk ketimpangan relasi antar manusia yang sangat merusak.

Mengapa kezaliman cepat dibalas? Karena ia menciptakan ketidakseimbangan dalam tatanan sosial. Ibarat virus, kezaliman menyebar cepat, merusak jaringan kepercayaan, dan memunculkan siklus balas dendam yang tak berujung.

Dalam konteks modern, kita bisa melihatnya dalam korupsi yang merampas hak rakyat, politik yang penuh manipulasi, atau perundungan digital yang menyayat harga diri seseorang di ruang publik. Kezaliman bukan hanya dosa personal, ia adalah “dosa sistemik” yang menggoyang akar keadilan.

Balasan di dunia sering kali hadir dalam bentuk kegelisahan batin, hancurnya reputasi, terputusnya keberkahan, hingga runtuhnya kekuasaan. Dunia bisa memaafkan kebodohan, tapi tidak untuk kezaliman.
 
Memutus Silaturahmi: Pemutusan Energi Kehidupan

Sementara itu, dosa kedua yang juga dibalas di dunia adalah memutus tali silaturahmi. Di era digital, ironi besar terjadi: kita terkoneksi dengan ribuan orang lewat media sosial, tapi justru menjauh dari orang-orang terdekat. Ada keluarga yang tak saling sapa bertahun-tahun, sahabat yang tak bertegur karena ego, dan komunitas yang tercerai karena beda pandangan politik.

Silaturahmi bukan hanya bentuk kasih sayang, tapi juga sarana aliran rezeki, keberkahan umur, dan ketenangan hati. Ketika kita memutusnya, kita sebetulnya sedang memutus "aliran energi spiritual" yang menopang keberlangsungan hidup kita.

Balasannya seringkali datang dalam bentuk hidup yang seret, hubungan yang rapuh, atau bahkan penyakit yang berasal dari tekanan emosional.
 
Paradoks Zaman: Kejahatan yang Dianggap Biasa

Yang lebih mengkhawatirkan hari ini adalah normalisasi dosa-dosa ini. Kezaliman dikemas dalam narasi “kemenangan strategi,” dan memutus silaturahmi dibungkus dengan label “self healing” atau “toxic relationship.” Tentu, menjaga diri dari hal negatif penting, tapi jangan sampai jadi alasan untuk memutus yang seharusnya disambung.

Hadis ini mengingatkan bahwa tidak semua dosa ditunda pembalasannya. Ada dosa yang “cash on delivery”—langsung dibayar tunai di dunia. Dan keduanya terkait langsung dengan sesama manusia.
 
Revolusi Moral: Kembali pada Etika Tauhid

Umat Islam hari ini tidak hanya butuh ibadah ritual, tapi juga revolusi moral. Kita harus kembali menjadikan keadilan dan ukhuwah sebagai fondasi masyarakat. Zalim bukan hanya melukai orang lain, tapi menodai makna kemanusiaan. Memutus silaturahmi bukan hanya menjauh dari keluarga, tapi membangun tembok antara kita dan rahmat Allah.

Solusinya adalah kesadaran tauhid: bahwa semua relasi bermuara kepada Allah. Zalim berarti menentang keadilan-Nya. Memutus silaturahmi berarti menentang perintah-Nya.
 
Penutup: Jalan Kembali Menuju Keberkahan

Mari kita renungkan kembali: adakah kezaliman yang pernah kita lakukan, baik terang-terangan maupun terselubung? Adakah silaturahmi yang terputus karena ego atau luka lama? Mungkin, sebagian dari "kesempitan hidup" yang kita alami hari ini bukan karena kurang usaha, tapi karena ada dosa sosial yang belum kita benahi.

Hadis ini adalah alarm spiritual. Ia mengetuk hati nurani kita untuk tidak menunda taubat, dan untuk segera menyambung yang putus, serta memperbaiki yang retak. Karena bisa jadi, kunci keberkahan hidup kita terletak pada maaf yang belum diminta… dan tangan yang belum dijabat.
×
Berita Terbaru Update