Namun, klaim tersebut justru menuai kontroversi tajam dari kalangan akademisi, terutama dari para ahli arkeologi internasional.
Klaim Piramida Tertua: Mengguncang Dunia Ilmiah
Penelitian yang memicu perdebatan ini berasal dari tim yang dipimpin oleh Dr. Danny Hilman Natawidjaja, seorang peneliti senior di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Dalam publikasinya di jurnal ilmiah Archeological Prospection, Danny menyatakan bahwa Gunung Padang merupakan struktur piramida yang dibangun sejak 25 ribu tahun lalu dua kali lebih tua dari situs Göbekli Tepe di Turki yang selama ini dianggap sebagai monumen batu tertua di dunia.
Tim menyebutkan hasil uji karbon dari material tanah jauh di bawah situs menunjukkan rentang usia antara 27 ribu hingga 16 ribu tahun. Adapun struktur lapisan atas diyakini dibangun sekitar 8.000 tahun yang lalu.
Dengan metode pemindaian seperti bioradar dan sistemografi, para peneliti menduga terdapat ruang-ruang di bawah tanah yang menunjukkan potensi rekayasa manusia purba—mendukung hipotesis bahwa situs ini adalah piramida purba yang telah terkubur.
Kritik dan Penarikan Studi
Namun, komunitas ilmiah global, terutama dari institusi akademik barat, justru mempertanyakan validitas temuan ini. Salah satunya datang dari Flint Dibble, arkeolog dari Cardiff University. Menurutnya, data yang dipublikasikan dalam makalah Danny tidak cukup kuat untuk mendukung kesimpulan bahwa Gunung Padang adalah struktur buatan manusia berusia puluhan ribu tahun.
“Saya sangat terkejut makalah ini diterbitkan sedemikian rupa. Tidak ada bukti artefak atau kerangka manusia yang mendukung kehadiran aktivitas manusia purba dalam skala tersebut,” ujar Dibble.
Penolakan juga datang dari arkeolog senior Indonesia. Truman Simanjuntak dari Pusat Kajian Prasejarah dan Austronesia menyatakan secara tegas bahwa Gunung Padang bukanlah piramida, melainkan punden berundak salah satu bentuk arsitektur megalitik yang digunakan sebagai tempat pemujaan roh leluhur.
“Klaim adanya ruang-ruang buatan manusia di dalam bukit adalah halusinasi,” kata Truman pada Maret 2025. Ia menegaskan bahwa undakan di Gunung Padang dibentuk dengan memanfaatkan struktur alami bukit dan batuan columnar joint, bukan hasil konstruksi monumental seperti piramida Mesir.
Kontroversi ini berujung pada penarikan studi dari jurnal Archeological Prospection pada 2024 karena ditemukan “major error” dalam substansi penelitian.
Fakta Geologis dan Sejarah Lokal
Gunung Padang telah lama dikenal sebagai situs megalitik terbesar di Asia Tenggara. Sejak 1997, penggalian yang dilakukan oleh tim arkeolog dari Universitas Padjadjaran menunjukkan bahwa situs ini terdiri dari teras-teras batu yang dibangun sekitar 117 hingga 45 SM.
Menurut Lutfi Yondri, arkeolog dari Unpad, bentuk fisik situs tersebut memang menyerupai bukit bertingkat, namun tidak bisa dikategorikan sebagai piramida. Teras-teras tersebut dibangun di atas batuan alami yang terbentuk secara geologis, bukan dipahat atau direkayasa dari bawah ke atas.
Penelitian Berlanjut dan Wacana Rekonstruksi
Meskipun penelitian awal Danny Hilman mendapat banyak kritik, namun perhatian terhadap Gunung Padang justru meningkat. Menteri Kebudayaan Fadli Zon pada Januari 2025 menyatakan niatnya untuk melanjutkan riset terhadap situs tersebut dengan pendekatan lebih holistik dan lintas disiplin.
Danny pun menyambut baik langkah tersebut, dan menyebut bahwa masih banyak misteri yang belum terungkap dari situs Gunung Padang. Ia menyarankan dilakukan penggalian bertahap dan komprehensif, bahkan menyebut pentingnya melakukan tahap rekonstruksi untuk memberikan gambaran utuh dari bentuk asli situs tersebut.
“Gunung Padang sudah harus masuk tahap rekonstruksi, bukan sekadar penelitian. Kita perlu gambaran utuh untuk kepentingan edukasi maupun pariwisata sejarah,” ujar Danny kepada CNN Indonesia.
Warisan Leluhur yang Perlu Dihargai
Terlepas dari polemik usia dan bentuk struktur Gunung Padang, para ahli sepakat bahwa situs ini merupakan warisan penting dari kebudayaan megalitik Nusantara. Truman menegaskan bahwa Gunung Padang dibangun dengan kearifan lokal yang tinggi—menyesuaikan dengan kontur alam, menyusun batu sebagai batas ruang sakral, dan menyimbolkan hubungan manusia dengan leluhur dan alam semesta.
Gunung Padang bukan sekadar soal piramida atau tidak, tetapi bukti bahwa peradaban Nusantara telah memiliki kesadaran spiritual dan teknik konstruksi sejak masa lampau. Polemik yang ada justru menjadi cermin bahwa sejarah terus bergerak dan terbuka untuk ditafsirkan ulang, asalkan tetap berpijak pada bukti dan metodologi ilmiah yang kuat.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai perkembangan studi Gunung Padang, kunjungi laman resmi Balai Arkeologi, BRIN.