Di setiap bulan Dzulhijjah, gema takbir menggema dari masjid-masjid, aroma khas daging kurban memenuhi udara, dan tangan-tangan saling berbagi dalam semangat Iduladha. Namun di balik semarak itu, ada pesan spiritual yang jauh lebih dalam: kurban bukan semata tentang menyembelih hewan, tapi tentang menyembelih ego, nafsu, dan duniawi demi keikhlasan kepada Allah.
Kurban adalah cerminan tauhid yang hidup dalam tindakan nyata. Ia adalah simbol penyerahan total kepada Sang Pencipta, sebagaimana dicontohkan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan putranya, Ismail ‘alaihissalam. Mari kita renungkan lebih dalam, apa sebenarnya makna hakiki dari ibadah kurban?
Kurban dalam Sejarah: Ujian Iman yang Menggetarkan
Kisah kurban berakar pada peristiwa monumental yang diabadikan dalam Al-Qur’an, ketika Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, Ismail. Perintah ini bukan sekadar ujian keimanan biasa, tetapi perintah yang mengguncang akal dan hati seorang ayah.
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersama dia, Ibrahim berkata, ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’ Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’”
(QS. Ash-Shaffat: 102)
Dialog itu bukan sekadar narasi, tapi refleksi dari ketundukan total. Ibrahim berserah, Ismail pun ikhlas. Di saat pisau sudah menyentuh leher anaknya, Allah menggantikan Ismail dengan seekor domba. Inilah asal usul ibadah kurban.
Lebih dari Sekadar Daging dan Darah
Allah menegaskan bahwa yang diterima dari ibadah kurban bukanlah daging atau darah hewan, melainkan ketakwaan dan keikhlasan orang yang melakukannya.
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37)
Makna ini sangat penting, apalagi di era modern, ketika banyak yang fokus pada aspek sosial dan distribusi daging semata. Padahal, esensi spiritualnya jauh lebih besar: menyucikan hati dari cinta berlebihan terhadap dunia, dan melatih diri untuk ikhlas berkorban demi Allah.
Kurban sebagai Latihan Mengikhlaskan
Mengikhlaskan tidak selalu berarti kehilangan. Dalam kurban, kita dilatih untuk melepaskan sebagian dari apa yang kita cintai — harta, waktu, kenyamanan — demi mendekat kepada Allah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidak ada amalan anak Adam pada hari Nahr (Iduladha) yang lebih dicintai Allah selain menyembelih hewan. Sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat lengkap dengan tanduk, bulu, dan kukunya. Dan sesungguhnya darah hewan kurban itu akan sampai kepada Allah sebelum menetes ke tanah. Maka ikhlaskanlah niat ketika menyembelihnya.” (HR. Tirmidzi, Hasan Sahih)
Hadis ini menunjukkan bahwa keikhlasan dan niat adalah inti dari ibadah kurban, bukan seberapa besar atau mahal hewan yang dikurbankan.
Filosofi Kurban dalam Kehidupan Sehari-hari
Kurban bukan hanya ritual tahunan, melainkan filosofi hidup. Ada "Ismail" dalam diri kita masing-masing — hal-hal yang sangat kita cintai, yang kadang harus kita relakan demi ketaatan.
Mungkin itu ego, jabatan, gengsi, atau bahkan kebiasaan buruk. Kurban sejati adalah saat kita mampu 'menyembelih' itu semua demi menjadi hamba yang lebih taat.
“Siapa yang ikhlas dalam beramal, ia telah menyembelih nafsunya.”
— Ulama Salaf
Dengan berkurban, kita belajar:
1. Menahan diri dari sifat pelit dan tamak
2. Memberi tanpa mengharapkan balasan dunia
3. Menjalin kepedulian sosial dengan sesama
Makna Sosial: Kurban Menyatukan Umat
Setiap kali daging kurban dibagikan, yang terjadi bukan sekadar pemberian logistik. Tapi sebuah penguat ukhuwah Islamiyah. Yang mampu menyisihkan hartanya untuk yang kurang mampu. Yang miskin pun bisa merasakan kenikmatan makan daging bersama keluarganya.
Dalam hadits riwayat Ahmad disebutkan:
“Makanlah, sedekahkanlah, dan simpanlah.”
(HR. Ahmad)
Hadis ini menunjukkan keseimbangan antara menikmati nikmat Allah, berbagi kepada sesama, dan merencanakan masa depan dengan hemat.
Penutup: Menyembelih Dunia, Menumbuhkan Akhirat
Iduladha adalah momentum tahunan untuk mengingat kembali esensi kehambaan kita. Bahwa sejatinya, kurban adalah proses menyembelih keduniawian agar ruhani kita tumbuh. Ia adalah bentuk latihan spiritual untuk menjadikan Allah satu-satunya tujuan hidup.
Mari sambut Iduladha ini dengan hati yang jernih, niat yang ikhlas, dan semangat berbagi. Karena kurban bukan sekadar menyembelih hewan — tapi menyembelih rasa ‘memiliki’ terhadap apa yang sebenarnya titipan.
“Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”
(QS. Al-An’am: 162)
Selamat menunaikan ibadah kurban. Semoga Allah menerima amal kita dan menjadikan kita hamba yang ikhlas dalam setiap pengorbanan.
Bagikan artikel ini sebagai pengingat spiritual kepada yang lain, hanya di terasmudacianjur.com.