Guru Besar Nanzan University, Nagoya, Jepang, Prof. Dr. Mikihiro Moriyama, menyampaikan pandangannya bahwa globalisasi bukan ancaman bagi bahasa dan budaya lokal. Sebaliknya, globalisasi membuka peluang besar bagi bahasa Sunda untuk dikenal lebih luas di panggung dunia.
Pernyataan tersebut disampaikan Prof. Mikihiro saat menjadi pembicara dalam acara Keurseus Budaya Sunda bertajuk "Kabeungharan Basa Sunda" yang digelar secara virtual oleh Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Budaya Sunda Universitas Padjadjaran, Rabu (27/10/2021) sore.
“Kalau kita di global, hanya menggunakan bahasa Inggris saja, tidak ada khasnya, jadi tidak menarik,” ungkap akademisi asal Jepang yang fasih berbahasa Sunda ini.
Menurutnya, di era globalisasi ini, justru masyarakat dunia semakin mencari sesuatu yang unik dan khas dari setiap budaya lokal. Hal tersebut menjadikan keberagaman bahasa sebagai daya tarik tersendiri. Bahasa Sunda, bersama bahasa daerah lainnya di Indonesia, dinilainya memiliki peluang yang sama dengan bahasa asing lain untuk mendunia.
Prof. Mikihiro menekankan pentingnya upaya pelestarian dan pengajaran bahasa Sunda secara konsisten agar bisa terus dikenal dan dipelajari lintas negara.
“Ini kesempatan baik untuk bahasa Sunda, orang Sunda wajib percaya diri dan bangga menggunakan bahasa Sunda,” tegasnya.
Bahasa Sunda sebagai Identitas Budaya
Dalam hasil penelitiannya, Prof. Mikihiro menemukan bahwa bahasa Sunda memiliki posisi sangat unik dalam kehidupan masyarakatnya. Ia menyebut, berbeda dengan etnis lain yang mungkin lebih dikenal melalui adat atau tradisinya, masyarakat Sunda sangat lekat dan identik dengan bahasanya.
“Kalau orang Sunda hilang bahasanya, mungkin jati diri sebagai orang Sunda juga bisa hilang,” tuturnya.
Keunikan ini pula yang menjadi dasar kuat bahwa pelestarian bahasa Sunda tidak hanya sekadar menjaga alat komunikasi, tetapi juga mempertahankan identitas budaya.
Fakta menarik lainnya, menurut Prof. Mikihiro, adalah tingginya jumlah buku pengajaran bahasa Sunda yang telah diterbitkan sejak abad ke-20. Setidaknya, ada lebih dari 2.200 buku yang diterbitkan selama periode tersebut. Bahkan, pada medio 1920-an, penerbit besar seperti Balai Pustaka lebih banyak menerbitkan buku pengajaran bahasa Sunda dibanding bahasa daerah lain.
Tak hanya di Indonesia, buku-buku pengajaran bahasa Sunda juga ditemukan diterbitkan di Groningen, Belanda, serta di Batavia pada masa yang sama.
“Ini bukti bahwa orang Sunda nyaah ka bahasana (sayang pada bahasanya). Buku-buku pengajaran bahasa Sunda tetap diterbitkan,” ujar Prof. Mikihiro.
Dorongan untuk Bangga Berbahasa Sunda
Di akhir pemaparannya, Prof. Mikihiro mengajak masyarakat Sunda, khususnya generasi muda, untuk terus menggunakan bahasa Sunda dengan bangga. Menurutnya, bahasa adalah pintu gerbang untuk memperkenalkan kekayaan budaya ke mata dunia. Dan bahasa Sunda, dengan keunikannya, memiliki potensi besar untuk menarik perhatian global di tengah arus informasi yang semakin cepat.
Sumber