Asih Téh Lain Ukur Diucapkeun, Tapi Kudu Dirasakeun Ku Lampah
(Cinta itu bukan hanya diucapkan, tapi harus dirasakan melalui perbuatan)
Dalam budaya Sunda, kata asih memiliki makna yang dalam. Ia bukan sekadar “cinta” dalam pengertian modern yang sering berhenti pada kata-kata manis atau janji indah. Asih adalah sebuah sikap hidup, sebuah komitmen hati yang dibuktikan dengan tindakan nyata. Filosofi ini mengajarkan kita bahwa rasa sayang yang sejati tidak cukup hanya dibungkus dalam ucapan, melainkan harus dihidupkan dalam perilaku sehari-hari.
Orang Sunda kerap berkata, “Asih téh ibarat cai anu ngalir, nganyam kahirupan kalawan tenang tapi pasti.” Air tidak berkoar-koar, tetapi keberadaannya menumbuhkan, memberi kehidupan, dan menyuburkan. Begitu pula cinta sejati, ia tidak melulu berisik di bibir, tetapi terasa di hati karena perbuatannya.
Banyak hubungan baik itu dalam keluarga, pertemanan, maupun rumah tangga—yang kandas bukan karena kurangnya kata “aku sayang kamu,” tetapi karena miskinnya bukti nyata. Mengucapkan cinta memang indah, tetapi jika tidak diikuti perhatian, pengorbanan, dan kejujuran, ucapan itu hanya akan menjadi gema hampa.
Filsafat Sunda menempatkan cinta sejati dalam tiga pilar: silih asih (saling menyayangi), silih asah (saling mengasah ilmu dan akhlak), dan silih asuh (saling menjaga). Ketiga nilai ini menuntut tindakan, bukan sekadar kata. Misalnya, silih asih diwujudkan dengan kesediaan mendengarkan, memberi ruang, dan menghargai perbedaan. Silih asah hadir ketika kita saling mengingatkan pada kebaikan dan memperluas wawasan. Sedangkan silih asuh tampak saat kita saling melindungi dari hal-hal yang bisa menyakiti.
Cinta yang hanya berhenti pada kata-kata akan mudah pudar ketika dihadapkan pada ujian. Namun cinta yang tertanam dalam tindakan akan bertahan, bahkan menguat, karena setiap perbuatan menjadi bukti yang meneguhkan rasa itu.
Oleh karena itu, jika kita mencintai seseorang, tunjukkanlah lewat tindakan yang konsisten. Perhatian kecil, kesetiaan, kesabaran, dan kepedulian yang terus mengalir akan jauh lebih berarti daripada seribu janji yang tak terpenuhi.
Seperti pepatah Sunda berkata: “Lamun asih ngan ukur di catur, moal lila bakal pareum. Tapi lamun asih disiram ku lampah, moal luntur ku mangsa.” (Jika cinta hanya diucapkan, ia akan cepat padam. Tapi jika cinta disirami dengan perbuatan, ia tak akan pudar oleh waktu.)
(Cinta itu bukan hanya diucapkan, tapi harus dirasakan melalui perbuatan)
Dalam budaya Sunda, kata asih memiliki makna yang dalam. Ia bukan sekadar “cinta” dalam pengertian modern yang sering berhenti pada kata-kata manis atau janji indah. Asih adalah sebuah sikap hidup, sebuah komitmen hati yang dibuktikan dengan tindakan nyata. Filosofi ini mengajarkan kita bahwa rasa sayang yang sejati tidak cukup hanya dibungkus dalam ucapan, melainkan harus dihidupkan dalam perilaku sehari-hari.
Orang Sunda kerap berkata, “Asih téh ibarat cai anu ngalir, nganyam kahirupan kalawan tenang tapi pasti.” Air tidak berkoar-koar, tetapi keberadaannya menumbuhkan, memberi kehidupan, dan menyuburkan. Begitu pula cinta sejati, ia tidak melulu berisik di bibir, tetapi terasa di hati karena perbuatannya.
Banyak hubungan baik itu dalam keluarga, pertemanan, maupun rumah tangga—yang kandas bukan karena kurangnya kata “aku sayang kamu,” tetapi karena miskinnya bukti nyata. Mengucapkan cinta memang indah, tetapi jika tidak diikuti perhatian, pengorbanan, dan kejujuran, ucapan itu hanya akan menjadi gema hampa.
Filsafat Sunda menempatkan cinta sejati dalam tiga pilar: silih asih (saling menyayangi), silih asah (saling mengasah ilmu dan akhlak), dan silih asuh (saling menjaga). Ketiga nilai ini menuntut tindakan, bukan sekadar kata. Misalnya, silih asih diwujudkan dengan kesediaan mendengarkan, memberi ruang, dan menghargai perbedaan. Silih asah hadir ketika kita saling mengingatkan pada kebaikan dan memperluas wawasan. Sedangkan silih asuh tampak saat kita saling melindungi dari hal-hal yang bisa menyakiti.
Cinta yang hanya berhenti pada kata-kata akan mudah pudar ketika dihadapkan pada ujian. Namun cinta yang tertanam dalam tindakan akan bertahan, bahkan menguat, karena setiap perbuatan menjadi bukti yang meneguhkan rasa itu.
Oleh karena itu, jika kita mencintai seseorang, tunjukkanlah lewat tindakan yang konsisten. Perhatian kecil, kesetiaan, kesabaran, dan kepedulian yang terus mengalir akan jauh lebih berarti daripada seribu janji yang tak terpenuhi.
Seperti pepatah Sunda berkata: “Lamun asih ngan ukur di catur, moal lila bakal pareum. Tapi lamun asih disiram ku lampah, moal luntur ku mangsa.” (Jika cinta hanya diucapkan, ia akan cepat padam. Tapi jika cinta disirami dengan perbuatan, ia tak akan pudar oleh waktu.)