-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Ngajaga Hirup Guyub: Filosofi Gotong Royong Sunda

Rabu, 13 Agustus 2025 | 08.16 WIB | 0 Views Last Updated 2025-08-13T01:16:02Z


Hirup Teu Bisa Sorangan

Di tanah Sunda, ada pepatah yang sederhana tapi dalam maknanya: "Moal aya gunung nu teu aya jurangna, moal aya cai nu teu aya solokanana." Artinya, tidak ada kehidupan yang bebas dari tantangan, dan kita tidak mungkin menjalani hidup seorang diri.
Bagi urang Sunda, salah satu nilai luhur yang menjaga keseimbangan kehidupan adalah gotong royong — atau dalam istilah filosofisnya, hirup guyub.

Gotong royong bukan sekadar “bantu-membantu” dalam arti fisik. Ia adalah perekat sosial yang membentuk identitas masyarakat Sunda. Sejak dahulu, urang Sunda meyakini bahwa kebersamaan dan saling menolong adalah modal utama membangun kehidupan, bahkan sebelum ada aturan formal atau program pemerintah.
 
Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh

Filosofi gotong royong Sunda bertumpu pada tiga pilar: silih asih (saling mengasihi), silih asah (saling memberi ilmu dan wawasan), dan silih asuh (saling menjaga dan membimbing). Ketiga konsep ini bukan hanya slogan, tetapi benar-benar dijalani dalam kehidupan sehari-hari.

Silih asih berarti memiliki empati dan kepekaan. Saat tetangga punya hajatan, misalnya, warga datang bukan hanya untuk makan, tapi untuk membantu dari persiapan hingga membersihkan tempat acara.

Silih asah tercermin dari budaya musyawarah kampung, di mana setiap orang berhak memberi pendapat dan belajar dari yang lain.

Silih asuh terlihat saat warga bersama-sama menjaga anak-anak di kampung, bukan hanya orang tuanya yang bertanggung jawab, tapi seluruh komunitas merasa memiliki.
 
Gotong Royong sebagai Perekat Sosial

Cianjur — yang menjadi bagian penting dari tatanan budaya Sunda — menyimpan banyak cerita tentang kekuatan gotong royong. Dari pembangunan masjid, perbaikan jalan desa, sampai urunan untuk membantu warga yang sakit, semua dilakukan tanpa pamrih. Inilah yang membuat hirup guyub bukan sekadar konsep, tapi urat nadi kehidupan sosial urang Sunda.

Sayangnya, di tengah arus modernisasi dan individualisme, nilai ini mulai tergerus. Kesibukan, mobilitas tinggi, dan teknologi membuat interaksi tatap muka berkurang. Kita lebih sering menekan tombol "like" di media sosial ketimbang mengetuk pintu rumah tetangga. Padahal, kedekatan sosial tidak bisa digantikan oleh koneksi digital semata.
 
Tantangan di Era Digital

Kita dihadapkan pada tantangan baru: bagaimana menjaga filosofi hirup guyub di tengah gaya hidup serba cepat. Gotong royong kini harus diterjemahkan dalam bentuk-bentuk baru. Membantu promosi usaha tetangga di media sosial, menggalang dana online untuk warga yang membutuhkan, atau saling mengedukasi tentang isu-isu yang memengaruhi kampung.

Namun, meski bentuknya berubah, roh gotong royong harus tetap hidup. Kita tidak boleh kehilangan rasa empati, keikhlasan, dan kepedulian yang menjadi inti dari budaya Sunda.

Ajakan Redaksi

Sebagai bagian dari masyarakat Sunda, kita punya tanggung jawab untuk menjaga hirup guyub ini. Tidak perlu menunggu acara besar atau proyek pembangunan. Mulailah dari hal kecil: menyapa tetangga, membantu membawa barang, atau sekadar mendengarkan keluh kesah orang lain.

Teras Muda Cianjur meyakini bahwa gotong royong adalah warisan budaya yang harus diwariskan, bukan sekadar dikenang. Kita bisa modern, melek teknologi, dan beradaptasi dengan zaman, tetapi jangan pernah melepas akar yang membuat kita menjadi urang Sunda sejati: kebersamaan, empati, dan keikhlasan untuk saling menolong.

Ngajaga hirup guyub hartina ngajaga urang sorangan. Sabab lamun masyarakatna kuat, urangna ogé pasti kuat.
×
Berita Terbaru Update