Sebuah tonggak bersejarah tercipta bagi dunia batik Indonesia. Rumah Batik Fractal bersama Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berhasil membawa 30 UMKM batik dan ecoprint Sukabumi–Cianjur tampil di panggung mode internasional, Front Row Paris 2025 pada 6 September lalu.
Dalam gelaran tersebut, mereka menampilkan sepuluh koleksi busana hasil kolaborasi 17 UMKM fesyen dan 13 UMKM kriya batik. Momen ini menjadi puncak dari Program Pendampingan dan Pengembangan Ekosistem Batik Tradisi berbasis digital yang digagas LPS dan Batik Fractal sejak 2023.
Dari Desa Menuju Panggung Dunia
Direktur Batik Fractal, Nancy Margried, menjelaskan dalam acara daring After-Show Chat with Batik Fractal (18/9/2025), bahwa perjalanan batik Sukabumi–Cianjur bukanlah hal yang instan.
“Banyak pembatik awalnya hanya menggeluti batik sebagai hobi atau usaha kecil. Tetapi dengan tekad, dukungan, dan sistem yang terstruktur, karya mereka akhirnya mampu tampil di panggung dunia,” ujar Nancy.
Program yang dimulai sejak 2022 ini dirancang dengan kurikulum berjenjang, pelatih kompeten, dan pendampingan ketat. Para pembatik ditempa untuk menemukan jati diri kreatifnya sekaligus menghasilkan karya dengan standar internasional.
“Paris bukan sekadar gemerlap mode, melainkan pusat tren dunia. Di sana para buyer global mencari arah baru industri fesyen. Inilah alasan mengapa kami membawa UMKM ke Paris, supaya mereka berani tampil di pasar internasional,” tambah Nancy.
Dukungan LPS, Arahan Purbaya Yudhi Sadewa
Nancy juga mengungkapkan bahwa sejak awal, program ini mendapat dukungan penuh dari Purbaya Yudhi Sadewa, Ketua LPS periode 2020–2025, yang kini menjabat Menteri Keuangan.
“Atas arahan beliau, pelatihan ini dijalankan tiga tahun dengan tujuan membentuk sentra batik baru. Bahkan kami harus membuat laporan bulanan dan pertemuan rutin agar progres bisa dipantau langsung,” kata Nancy.
Harapan besar Purbaya sejak awal adalah agar batik dari daerah yang kurang dikenal bisa menembus pasar internasional. Dan kini, milestone itu telah tercapai.
Koleksi “Whispering Forest” di Paris
Sepuluh tampilan busana yang dipamerkan di Paris mengusung tema Whispering Forest, terinspirasi dari bentang alam Parahyangan—gunung, hutan, laut, hingga budaya lokal.
Dengan bantuan perangkat lunak jBatik, motif-motif tradisional dieksplorasi secara digital sehingga lebih modern, variatif, dan efisien dalam produksi.
“Batik harus masuk ke pasar, mengikuti tren, dan tampil modern. Dengan teknologi, anak muda juga lebih mudah tertarik untuk mengembangkan batik,” jelas Nancy.
Koleksi tersebut tampil berbarengan dengan enam desainer nasional lainnya, seperti Deden Siswanto, AM by Anggiasari Mawardi, FFF by Ferry Febby Fabry, Putri Anjani by Indina, Roemah Kebaya Vielga, dan NY by Novita Yunus.
Mengikuti Tren Global Strive 2025/2026
Para UMKM peserta diarahkan agar desain mereka sesuai dengan tren global Strive 2025/2026. Empat tren yang dijadikan acuan yaitu: Indie Rebellion, Quiet Artistry, Neo Nostalgic, dan Artisanal Elegance.
Dengan cara ini, karya yang dihasilkan tidak hanya berakar dari budaya lokal, tetapi juga relevan dengan permintaan pasar global.
Kolaborasi antar-UMKM juga menjadi strategi penting. UMKM fesyen menghadirkan busana, sementara UMKM kriya batik memperkaya koleksi dengan aksesori seperti scarf dan bando.
Dampak: Rasa Percaya Diri dan Akses Global
Menurut Nancy, dampak terbesar dari penampilan di Paris adalah meningkatnya kepercayaan diri para pembatik.
“Karya yang mereka tekuni di desa kini bisa berdiri sejajar di panggung dunia. Itu bukan hanya kebanggaan, tetapi juga portofolio berharga,” tegasnya.
Tantangan berikutnya adalah menjaga momentum dengan melakukan tindak lanjut bersama para buyer internasional. “Batik harus tampil berbeda—modern, avant-garde, tetapi tetap Indonesia,” tambah Nancy.
Dukungan Diplomasi dan Pentingnya Identitas
Dubes Indonesia untuk Prancis, Monako, Andorra, serta UNESCO, H.E. Mohammad Oemar, turut memberikan apresiasi.
“Paris adalah pusat mode dunia. Kehadiran desainer Indonesia hari ini membuktikan bahwa karya anak bangsa mampu bersaing di panggung internasional. Fesyen bukan sekadar gaya, tetapi juga identitas dan dialog antarbangsa,” ujarnya dalam rilis resmi KBRI Paris.
Sementara itu, Ali Charisma, Advisory Board dan Project Director Indonesian Fashion Chamber (IFC), menegaskan pentingnya menggelar peragaan busana dengan identitas Indonesia yang kuat.
“Sering kali ketika dikurasi pihak luar, wastra Indonesia dianggap terlalu berat dan harus diubah. Padahal, true fashion of Indonesia harus tampil apa adanya,” katanya.
Batik Fractal: Teknologi dan Pemberdayaan
Didirikan pada 2007 oleh Nancy Margried, Muhamad Lukman, dan Yun Hariadi, Batik Fractal adalah perusahaan sosial berbasis di Bandung.
Selama hampir dua dekade, mereka telah berjejaring dengan lebih dari 4.000 perajin batik di seluruh Indonesia. Selain memproduksi batik, Batik Fractal konsisten melakukan pendampingan UMKM, riset, serta edukasi batik di berbagai forum nasional maupun internasional.
Dengan software jBatik, mereka mentransformasi proses desain batik menjadi digital, membuka akses pasar, dan meningkatkan literasi digital perajin. Fokus mereka juga tertuju pada pemberdayaan perempuan perajin batik melalui pelatihan kewirausahaan.
Momentum ke Depan
Tahun 2025 menjadi tahun internasionalisasi bagi Batik Fractal dan UMKM binaannya. Selain tampil di Paris, mereka juga akan berpartisipasi di Osaka Expo.
“Harapannya, akan ada lebih banyak publikasi dan pameran internasional lain. Kami ingin Batik Indonesia semakin dikenal di dunia,” pungkas Nancy.
Dengan keberhasilan di Paris, batik Sukabumi–Cianjur membuktikan bahwa tradisi bisa berdampingan dengan teknologi, dan dari desa pun bisa lahir karya yang bergaung hingga ke panggung mode dunia.