Di tengah derasnya perubahan digitalisasi, mobilitas tinggi, tekanan ekonomi, dan budaya "instan" kearifan lokal sering kali tampak sederhana namun menyimpan ketajaman yang relevan. Tiga adagium Sunda berikut bukan sekadar kata-kata leluhur: mereka adalah peta hidup yang membantu kita menyeimbangkan usaha, waktu, dan jiwa agar tetap tegak di zaman yang serba cepat.
Berikut pembahasan mendalam tentang masing-masing ajaran, bagaimana saling berkaitan, dan aplikasinya pada konteks kehidupan modern.
1. “Tawakal téh sanggeus tarékah” — Berserah setelah Berusaha
Secara singkat, pepatah ini menegaskan urutan yang bijak: usaha dulu, baru tawakal. Artinya bukan pasrah tanpa daya, melainkan etika bekerja yang sehat: berikhtiar sekuat mungkin lalu menyerahkan hasil akhirnya kepada Tuhan dan kenyataan.
Filosofi mendalam:
Dalam tradisi Sunda, nilai ini menanamkan tanggung jawab pribadi—kita tak boleh menunggu hasil tanpa bergerak. Tarékah (usaha) adalah wujud keterlibatan manusia dalam mencipta nasib; tawakal adalah pendidikan batin untuk menerima keterbatasan kontrol. Bersama, keduanya melahirkan ketenangan yang produktif: tindakan yang terarah plus penerimaan yang dewasa.
Relevansi zaman sekarang:
Di era startup dan ekonomi gig, godaan shortcut besar. Pepatah ini mengingatkan agar kita tetap mengutamakan proses: validasi ide, kerja keras konsisten, belajar dari kegagalan—lalu bersikap tenang saat hasil belum memihak. Untuk pekerja kreatif, ini berarti terus produksi konten berkualitas; untuk profesional, berarti upskilling dan eksekusi; untuk pelaku usaha, berarti iterasi produk dan pelayanan sebelum berharap viralitas tanpa dasar.
2. “Ngindung ka waktu, mibapa ka jaman” — Menghormati Waktu, Menyelaraskan Diri dengan Zaman
Pepatah ini menekankan dua aspek: kesadaran temporal (ngindung ka waktu) dan kecakapan adaptif (mibapa ka jaman).
Filosofi mendalam:
Waktu adalah guru sekaligus pembatas — ia mengikat peluang, membuka dan menutup babak. Menghormati waktu berarti menghargai ritme alamiah kehidupan: musim, fase pembelajaran, dan momentum. Sementara mibapa ka jaman menuntut kecermatan membaca konteks: teknologi, norma sosial, ekonomi — lalu menyesuaikan langkah tanpa kehilangan jati diri.
Relevansi zaman sekarang:
Perubahan teknologi memaksa kita belajar terus (lifelong learning). Mereka yang "ngindung ka waktu" tidak menganggap usia atau keterlambatan sebagai aib, melainkan memanfaatkan waktu untuk berkembang. Sedangkan yang mibapa ka jaman mengambil peluang digital—mis. belajar digital marketing, coding, atau literasi finansial—agar tak tertinggal. Dalam praktiknya, ini berarti menyeimbangkan kecepatan dan kebijaksanaan: cepat beradaptasi, namun tidak gegabah melepaskan nilai-nilai dasar.
3. “Ceurik acan, tapi ulah pegat tarékah” — Menangis Boleh, Tapi Jangan Berhenti Berusaha
Pepatah ini memberi izin emosional sekaligus mendorong ketangguhan: menangis itu manusiawi; berhenti berusaha itu berbahaya.
Filosofi mendalam:
Manusia bukan robot. Pengakuan terhadap rasa sedih atau kecewa (ceurik) adalah bagian dari pembentukan kepekaan moral dan empati. Namun, budaya Sunda juga menempatkan kerja (tarékah) sebagai obat dan jembatan menuju pembelajaran. Keduanya: ekspresi emosional dan tindakan produktif, harus seimbang.
Relevansi zaman sekarang:
Di era tekanan mental dan ekspektasi performa tinggi, mengizinkan ekspresi — mis. konseling, cuti mental, curahan kepada komunitas — sangat penting. Namun pepatah ini juga mengingatkan agar ekspresi tidak menjadi alasan berhenti: setelah merenung dan memulihkan diri, langkah kecil kembali diambil. Bagi pekerja remote atau pelaku UMKM, resepnya: sisihkan waktu untuk memproses emosi, lalu susun rencana aksi kecil untuk kembali maju.
Sinergi Ketiga Ajaran: Keseimbangan Etika, Waktu, dan Jiwa
Ketiganya saling melengkapi: tarékah + tawakal menyeimbangkan antara kontrol dan penerimaan; ngindung ka waktu + mibapa ka jaman menjaga relevansi langkah kita; sedangkan ceurik acan, tapi ulah pegat tarékah menjaga kesehatan emosional agar usaha tetap berkelanjutan.
Jika dirangkum: lakukan upaya nyata, pelajari waktu dan konteks, izinkan diri merasa, lalu bangkit kembali dengan lapang dada.
Contoh Nyata dalam Kehidupan Modern
Untuk menjembatani teori dan praktik, berikut ilustrasi singkat (fiksi namun representatif):
Rara, lulusan pesantren dari Cianjur memutuskan merantau ke kota untuk kerja. Ia belajar digital marketing (mibapa ka jaman), mengerjakan proyek kecil sambil terus mengasah skill (tarékah). Ketika gagal mendapat klien besar, ia berdoa dan menerima (tawakal). Ia merenung dan menangis semalaman (ceurik), lalu bangkit dan meluncurkan layanan mikro yang akhirnya bertumbuh—hasil dari konsistensi kecil yang terus dilakukan.
Warga desa yang menghadapi perubahan iklim: petani yang dulu menanam padi mulai mengubah pola tanam sesuai musim baru (ngindung ka waktu), mencoba teknik pertanian baru (mibapa ka jaman), bekerja keras menyesuaikan metode (tarékah), lalu menerima kenyataan panen tidak selalu stabil (tawakal), sambil saling menopang dalam komunitas ketika musim buruk (silih asah, silih asih, silih asuh).
Panduan Praktis: Mengimplementasikan Ajaran Sunda di Zaman Now
Berikut langkah-ringkas yang bisa langsung dicoba (format singkat agar mudah dipraktekkan):
1. Buat "peta usaha" mingguan: tentukan 3 tindakan konkret (tarékah) yang bisa dilakukan menuju tujuan.
2. Latih ritme refleksi: sediakan 10–15 menit tiap akhir hari untuk menilai progres, bukan menghukum diri.
3. Belajar adaptif: pilih satu keterampilan baru setiap kuartal yang relevan dengan pekerjaan atau hobi.
4. Ruang untuk merasa: izinkan ekspresi emosional (curhat, menulis jurnal, atau berkonsultasi) tetapi tetapkan batas waktu pemulihan sebelum kembali bertindak.
5. Praktik tawakal/ketenangan: melalui doa, meditasi, atau doa singkat — sebagai pengingat bahwa tidak semua bisa dikontrol.
6. Bangun jaringan lokal: komunitas sebagai penopang moral dan sumber kolaborasi (silih asah/asih/asuh).
Etika Sosial: Menjaga Jati Diri saat Beradaptasi
Menjadi adaptif tidak berarti melepaskan identitas. Mibapa ka jaman harus dilandasi oleh kesadaran nilai: jaga etika, budaya gotong-royong, dan rasa hormat. Kearifan lokal tetap relevan bila dipadukan dengan inovasi bukan dipinggirkan.
Penutup: Kembali ke Akar, Melangkah ke Masa Depan
Tiga pepatah Sunda ini mengajarkan cara hidup yang holistik: bertindak dengan usaha, menempatkan waktu dan konteks dengan bijak, dan merawat jiwa ketika luka. Dalam dunia yang menekan kita untuk cepat dan terlihat sempurna, warisan leluhur ini menawarkan ritme yang menenangkan: kerja nyata, adaptasi cerdas, dan keberanian untuk merasa lalu bangkit lagi.
Semoga pembahasan ini menumbuhkan inspirasi praktis untuk menata langkah sehari-hari: sedikit tarékah hari ini, sedikit adaptasi sesuai zaman, sedikit kejujuran emosional dan ketenteraman hati ketika semua itu diserahkan pada takdir.