-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Antara Beurang jeung Peuting: Filosofi Senja Urang Sunda

Sabtu, 04 Oktober 2025 | 17.33 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-04T10:33:36Z
Di langit barat, warna jingga memudar perlahan. Angin membawa kesejukan yang lembut, dan suara adzan magrib mulai bersahutan dari masjid-masjid kecil di sudut kampung. Saat itu, waktu yang disebut senja — atau dalam istilah Sunda, wanci surup — datang dengan keheningan yang khas. Bagi masyarakat Sunda, senja bukan sekadar pergantian dari siang ke malam. Ia adalah momen sakral yang mengandung filosofi dalam tentang kehidupan, keseimbangan, dan pengingat akan Sang Pencipta.

Wanci Surup: Waktu Alam Beralih, Alam Gaib Muncul

Dalam budaya Sunda, senja disebut wanci surup — waktu ketika matahari nyurup (tenggelam) ke arah barat. Pada masa dahulu, para orang tua sering berpesan kepada anak-anaknya,

“Ulah ulin di luar lamun geus surup, aya nu nyupir!”

Kalimat sederhana ini bukan sekadar larangan, melainkan bentuk kearifan lokal yang sarat makna. Wanci surup dianggap sebagai waktu di mana alam manusia dan alam gaib mulai bersinggungan. Makhluk halus, roh penunggu, atau karuhun dipercaya mulai bergerak di waktu senja. Maka, masyarakat diajarkan untuk berhenti bermain, pulang ke rumah, dan bersiap menghadapi malam dengan hati yang tenang.

Pangeling-eling: Saatnya Manusia Mengingat Gusti

Senja juga dikenal sebagai waktu pangeling-eling — waktu untuk mengingat, merenung, dan mendekatkan diri pada Gusti Allah. Setelah seharian beraktivitas, bekerja, atau berladang, masyarakat Sunda mengambil jeda di waktu ini. Mereka membersihkan diri, menyalakan lampu damar atau lentera, lalu bersiap menunaikan salat magrib.

Wanci surup menjadi simbol transisi antara dunya jeung akhirat, antara hiruk-pikuk dunia dan ketenangan spiritual. Dalam falsafah Sunda, manusia yang bijak adalah mereka yang bisa ngarasa, ngarti, jeung ngamalkeun — merasakan, memahami, dan mengamalkan setiap pergantian waktu sebagai pengingat akan kebesaran Tuhan.

Simbol Keseimbangan: Antara Cahaya dan Kegelapan

Senja juga dimaknai sebagai lambang keseimbangan. Ia hadir di antara dua kutub kehidupan: terang dan gelap, siang dan malam, ramai dan sunyi. Orang Sunda percaya, keseimbangan inilah yang menjaga harmoni alam dan manusia.

Ungkapan bijak Sunda mengatakan:

“Moal aya peuting lamun teu aya beurang.”
(Tidak akan ada malam jika tak ada siang.)

Artinya, setiap fase dalam hidup punya waktunya masing-masing. Ada masa kerja keras, ada masa istirahat. Ada masa muda yang berapi-api, dan masa tua yang meneduhkan. Senja mengajarkan manusia untuk menerima setiap perubahan dengan tawakal dan ikhlas, sebab dalam setiap perubahan tersimpan pelajaran tentang kesabaran.

Kaéndahan Nu Nyaur Kana Jiwa

Orang Sunda dikenal dengan rasa estetikanya yang halus. Mereka melihat keindahan bukan hanya dari rupa, tapi dari makna.
Senja menjadi simbol kaéndahan nu nyaur kana jiwa — keindahan yang berbicara kepada hati.

Di sawah, para petani berhenti menugal dan duduk di pematang sambil menatap langit jingga. Di beranda rumah, para ibu menyiapkan nasi hangat, dan anak-anak kecil berlarian pulang dengan wajah ceria. Dalam kesederhanaan itu, senja menghadirkan keindahan yang tidak bisa dibeli: kehangatan keluarga, kedamaian batin, dan rasa syukur.

Senja, Pangeling Hirup

Bagi urang Sunda, senja téh pangeling hirup — pengingat kehidupan. Ia mengajarkan bahwa setiap terang pasti akan surup, tapi setiap malam juga akan disusul fajar. Hidup bukan tentang menolak senja, tapi menerima bahwa dalam keindahan perpisahan, selalu ada janji tentang pertemuan baru.

Maka, ketika matahari perlahan tenggelam di balik Gunung Gede, biarkan hati kita ikut merunduk, merenung, dan bersyukur. Sebab, dalam tiap cahaya yang memudar, ada tanda bahwa Gusti masih ngersakeun urang hirup — Tuhan masih memberi kesempatan untuk memperbaiki diri sebelum malam datang.

Penutup

Dalam budaya Sunda, senja bukan sekadar fenomena langit, tapi pengalaman batin.
Ia mengingatkan manusia tentang batas, waktu, dan keseimbangan. Bahwa hidup ini, seindah apapun terangnya, pada akhirnya akan surup juga. Dan di situlah, kita belajar — tentang pasrah, tentang cinta, dan tentang makna “henteu aya nu langgeng iwal ti Gusti.”

Senja dalam pandangan Sunda bukan akhir, melainkan ajakan halus dari alam untuk berhenti sejenak, melihat ke dalam diri, dan mengingat siapa yang menciptakan cahaya itu sendiri.
×
Berita Terbaru Update