Tulisan bijak dari Ali bin Abi Thalib ini turut mewarnai suasana politik dan sosial di Indonesia saat ini. Gelombang demonstrasi yang berlangsung sejak akhir Agustus 2025 merupakan bukti betapa keheningan—ketidakikutsertaan aktif masyarakat dan elit yang seharusnya menjadi penengah atau pelindung rakyat—dapat memungkinkan terjadinya ketimpangan dan kebiadaban. Dalam konteks ini:
-
Isu tunjangan mewah anggota DPR, penindasan aparat, dan kesepian warga baik bagaikan panggilan untuk warga yang selama ini hanya diam: "Jika kau melihat kezaliman, maka bertindaklah".
-
Demonstrasi yang pecah sejak 25 Agustus merupakan konkret tragedi: seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, menjadi simbol korban ketidakadilan ketika ditabrak kendaraan taktis polisi—menjadi bukti bahwa keheningan masyarakat baik tidak mampu melindungi.
Ringkasan Kronologis & Fakta Demostrasi Terbaru
Penyebab utama demonstrasi:
- Pecahnya protes akibat usulan tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta/bulan untuk anggota DPR—sekitar 10× UMP Jakarta—ditengah beban biaya hidup yang semakin tinggi.
- Ekonomi lesu dengan pemutusan hubungan kerja massal, kenaikan pajak properti dan beban pendidikan yang meningkat.
Kronologi:
- 25 Agustus: Ribuan mahasiswa, buruh, dan aktivis mempertanyakan tunjangan elit, terjadi bentrokan di DPR, polisi pakai gas air mata dan water cannon.
- 28–29 Agustus: Kerusuhan meningkat, demonstran menembaki, membakar, hingga memasuki tol dalam kota; respon keras aparat melibatkan penghadangan dan gas air mata.
- 29 Agustus: Affan Kurniawan tewas terlindas kendaraan Brimob; Presiden Prabowo memerintahkan investigasi, meminta maaf, dan tujuh anggota Brimob ditahan—namun sebagai simbol ketidakadilan yang memicu protes lebih luas lagi.
- Suasana malam 29–30 Agustus: Aksi masih berlangsung di Polda Metro Jaya, DPR, dan sejumlah lokasi. Infrastruktur rusak (termasuk halte TransJakarta terbakar, barrier jalan terbakar), massa menolak bubar meski lewat tengah malam.
Skala:
- Setidaknya 600 orang ditahan, lebih dari 1 kali korban tewas (Affan), dan penahanan serta pemulangan paksa pelajar dan mahasiswa.
Analisis Kritis: Apa Makna Di Balik Gelombang Demonstrasi Ini?
1. Ketimpangan yang Mencekam
Tunjangan Rp50 juta bagi elit DPR menjadi simbol betapa pemisahan antara elit dan rakyat telah semakin kentara. Di tengah pemotongan anggaran, kenaikan pajak, dan PHK masal, langkah seperti itu tampak sangat jauh dari realitas rakyat. Alhasil, solidaritas pecah karena masyarakat tidak lagi merasa dilindungi oleh wakilnya.
2. Kekerasan Aparat dan Legitimitas yang Runtuh
Kematian Affan Kurniawan adalah titik kritis—gambar tragis ini tersebar luas, membakar kemarahan publik. Meski Presiden meminta maaf, insiden itu mencerminkan akar masalah: penggunaan kekerasan berlebihan dari aparat menjadi kontraproduktif terhadap stabilitas.
3. Kekuatan Pesan Publik & Jejak Digital
Isu ini meledak karena viral di media sosial—video Affan, unggahan mahasiswa. Namun negara menanggapi dengan meminta platform seperti TikTok dan Meta menghapus konten disinformasi. Ini ujian terhadap kebebasan berekspresi: antara kebutuhan keamanan dan hak publik.
4. Breadth of Demands: Lebih dari Sekadar Tunjangan
Selain menentang bonus elit dan kekerasan aparat, demonstran menuntut:
- Pengunduran diri pejabat
- Pembubaran DPR
- Pembatalan penulisan ulang sejarah
- Reformasi hak pekerja, investasi pendidikan, keadilan ekonomi.
Gelombang ini bukan sekadar amarah instan—melainkan sinyal kumulatif dari ketidakpuasan sejak reformasi TNI, Inpres efisiensi, dan pemotongan anggaran lainnya.
Kesimpulan: Diamnya Orang Baik Tidak Lagi Bisa Diterima
Kutipan Ali bin Abi Thalib menjadi panggilan moral di tengah gejolak ini. Diam bukan lagi pilihan: elite harus membuka telinga dan hati, aktor institusi mesti bertindak cepat dan transparan, dan masyarakat "baik" — elemen civil society, tokoh agama, media—harus tak sekadar menyaksikan, tapi turut menjaga agar perubahan terjadi dengan adil dan damai.
Ketika "diam" telah menjadi akar ketidakadilan, demonstrasi jadi isyarat bahwa rakyat sudah tidak bisa lagi ditinggalkan. Indonesia sedang di persimpangan: antara reformasi serius dan resesi demokrasi. Dan perubahan akan terjadi hanya jika keberanian bertindak dipilih bukan kesunyian.